Bab XVII

4 2 0
                                    

"Mohon maaf, ya, Mas. Makasih udah bantu," tutur seorang pria berusia senja di hadapanku dengan lembut. Kepalanya pelontos dipenuhi titik putih dari akar-akar uban yang hendak tumbuh.

Setelah membalas dengan, "nggak apa-apa, Pak. Saya juga minta maaf karena udah masuk pekarangan rumah Bapak sembarangan" aku meraih cangkir plastik berisi teh hangat di hadapanku, dan menyeruputnya. Perasaan bersalah mengendap di dasar batinku bak ampas teh. Di belakangku, sebuah pintu kamar setengah terbuka dan di dalamnya wanita lansia yang tadi mendekapku erat dengan tiba-tiba sedang memejamkan mata dengan damai.

Wanita itu rupanya penderita demensia dan salah mengiraku adalah anaknya yang telah tiada dari sejak puluhan tahun yang lalu. Ketika drama beliau menangis seraya memelukku tengah berlangsung, saat itu pula suaminya muncul dari ujung jalan setapak dengan tergesa-gesa. Peluh cemas bercucuran membasahi wajahnya.

Dengan penuh kesabaran, ia menenangkan sang istri. Terus meyakinkan beliau bahwa aku bukanlah buah hati mereka hingga beliau mau melepas pelukannya yang cukup menyakitiku.

Begitu pelukannya terlepas, semerta-merta tubuhnya terkulai tak sadarkan diri hingga kami harus membopongnya. Setelah membaringkan tubuhnya di atas kasur, aku diminta menunggu di ruang tengah sementara si suami memberikan pertolongan dengan sangat telaten. Seharusnya beliau bisa saja menyuruhku melakukan ini-itu sebagai bentuk pertanggungjawabanku, tapi ternyata beliau sama sekali tak murka terhadapku yang telah lancang masuk ke pekarangannya, juga atas apa yang menimpa istrinya.

Bahkan setelah beliau selesai memberikan pertolongan pada istrinya, ia malah menyuguhkanku seteko teh hangat. Berulang kali aku meminta maaf, dan sebanyak itu pula ia turut menuturkan maaf kepadaku. Orang yang sangat baik.

Kemudian terungkap bahwa karena trauma mendalam atas apa yang menimpa keluarganya, beliau dan istrinya pun memutuskan untuk mengasingkan diri dari desa ini. Maka, mereka membangun gubuk di sudut desa yang jauh dari pemukiman warga.

Namun, bukan berarti mereka benar-benar menutup diri dari masyarakat. Bila desa sedang melaksanakan suatu kegiatan, si suami terkadang turut hadir di dalamnya. Tak ayal beliau tahu bahwa aku adalah mahasiswa KKN di sini.

Saat keheningan tengah duduk di antara kami, sekonyong-konyong beliau berkata, "yang jadi korban ketiga dari kutukan desa ini adalah keluarga kami." Mataku refleks melebar. Kalau begitu, putra mereka...

"Karena saya percaya bahwa kamu orang baik, saya akan menceritakan ini. Tapi, saya mohon kepada kamu agar tidak membahas ini di depan warga desa. Bisa?" Aku menenggak liur sebelum mengangguk mantap. Sebentar, ada yang harus kupastikan terlebih dahulu.

Aku bertanya, "tunggu, Pak. Bukannya ada ketentuan kalau semua warga sini harus ngejaga rahasia desa, ya? Apa nggak apa-apa kalau Bapak ceritain ini ke saya yang orang luar?" Mendengar pertanyaanku barusan, beliau membuka rongga mulutnya lebar-lebar, memperlihatkan lidahnya yang merah pucat. Aku memiringkan kepala, dalam hati bertanya-tanya apa gerangan maksud dari tindakannya itu.

"Di lidah saya tidak ada apa-apa, kan?" Pertanyaannya barusan sontak membuatku menyipitkan mata, melihat ke dalam rongga mulutnya yang remang-remang. Kemudian, aku mengangguk dan menjawab, "iya, nggak ada apa-apa."

Beliau mengatupkan mulutnya, dan meneruskan, "semua warga sini memiliki tanda di lidah. Semacam... segel kutukan, mungkin. Tanda itulah yang menjaga rahasia desa ini. Karena siapa pun yang punya tanda itu, kalau dia sedikit saja membocorkan rahasia desa, dia bakal..." Beliau membuat gestur kedua tangan mengepal, lalu terbuka dengan mulut yang bergumam "bum!" dengan suara lirih.

"Meledak?" tanyaku.

"Ya, kurang lebih begitu. Ngeri, ya? Nah, tanda itu bentuknya seperti... semacam huruf Aksara Jawa kuno, mungkin. Dan itu kecil sekali, jadi hanya sedikit dari warga sini yang menyadarinya. Tanda ini akan hilang kalau si pemilik sudah menyerahkan putranya sebagai persembahan ke Dewi Setan. Karena kebanyakan tidak ada yang menyadari kalau tanda itu ada, makanya saat hilang pun si pemilik tetap akan dibayang-bayangi ketakutan dan bakal terus berhati-hati dalam berbicara. Jangan sampai dia tidak sengaja membocorkan rahasia desa. Makanya sampai sekarang rahasia itu tetap aman.

Her Blue LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang