Bab XX.5

8 2 0
                                    

Langit biru bercorak putih tipis. Mentari yang menggantung tinggi tepat di atas kepala. Desir angin yang menggoyang-goyangkan dedaunan pada ranting-ranting ringkih, menimbulkan suara gesekan syahdu di tengah kesenyapan. Rerumputan meliuk-liuk seirama dengan nyanyian angin. Arus statis yang tercipta dengan spontan di atas permukaan danau yang birunya abadi.

"Dadang." Di tengah ketenangan itu, saya dikejutkan oleh suara yang memanggil nama saya di belakang. Sebenarnya nama itu bukanlah milik saya, melainkan nama ayah saya yang tersohor di Desa Fajar Merah ini. Mula-mula, saya dipanggil dengan julukan 'Dangcik' atau 'Dadang Kecik (kecil)' oleh semua orang di sini, baik para orang tua sampai ke anak-anak yang usianya sebaya. Lalu, entah sejak kapan julukan itu malah berubah seutuhnya menjadi nama panggilan ayah saya. Sebagai pembeda, ayah saya selalu dipanggil dengan awalan 'Pak' sementara saya hanya 'Dadang'.

Itu guru spiritual saya, yang akrab disapa Bakas. Saya sudah berguru dengannya sejak berusia 10 tahun hingga kini hampir menginjak 14 tahun. Apa yang saya pelajari darinya... singkatnya, saya mempelajari teknik pengobatan alternatif dengan obat-obatan herbal dan jalur gaib. Ya, sebagian besar dari kita mungkin menyebutnya 'orang pintar'.

Saya sendiri tidak terlalu mengerti mengapa saya sudah mempunyai keinginan untuk menggeluti bidang ini, di usia yang hanya lebih tua sedikit dari jagung. Yang pasti, keinginan itu muncul setelah Bakas menyembuhkan saya yang terkena suatu penyakit aneh karena gangguan makhluk halus. Semenjak itu pula saya menjadi lebih sensitif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan gaib, seolah dinding kaca pembatas antara dunia manusia dan dunia sana telah pecah berhamburan di mata saya. Bagi saya, Bakas adalah pahlawan.

Di balik punggungnya, seorang gadis (yang sepertinya sebaya saya) bersembunyi seperti anak ayam yang baru bisa berjalan. Bakas menengok ke arahnya dengan sedikit menundukkan pandangan, menatapnya lembut seraya menepuk-nepuk punggungnya. Mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja, saya bukanlah anak laki-laki yang nakal.

Gadis itu keluar dari persembunyiannya, menampakkan dirinya secara menyeluruh dari ujung kepala hingga kaki. Alangkah terkejutnya saya begitu secara tak sengaja ia menjatuhkan jaket hitam yang tersampir di bahunya. Ia tampak sangat lusuh, compang-camping, kumal, dan tak beraturan. Pakaiannya robek di sana-sini dengan bercak-bercak tanah dan juga darah yang hampir memenuhi semua titik pada pakaiannya. Tak hanya di pakaian, lumpur juga menempel dan kering pada kulit juga helaian rambutnya. Ia sangat kurus seolah darah dan lemak di tubuhnya telah disedot habis oleh monster penghisap darah yang menguasai malam. Wajahnya pun gosong terbakar matahari.

Kemudian, mata saya menangkap satu hal yang agaknya terlalu mencolok untuk berada di tubuhnya yang kacau. Sebuah cincin perak yang di tengahnya tertanam permata azura yang tak lebih besar dari biji jeruk yang mengilap memantulkan sinar mentari. Memangnya tidak berbahaya, kah? Memakaikan benda berharga seperti itu pada anak seusianya. Sepertinya, kedua orang tuanya sangat tak acuh dengan keselamatan putrinya ini. Tunggu dulu... darah? Memangnya apa yang telah dilalui oleh gadis ini sebelumnya? Namun, meski pakaiannya hampir dipenuhi oleh noda darah, mata saya sama sekali tak menangkap segores luka pun pada tubuhnya seolah darah itu bukanlah berasal dari tubuhnya, melainkan dari cipratan atau memang sengaja disiramkan padanya.

"Dadang, kenalin. Ini..." Semula Bakas ingin mengenalkannya kepadaku, namun sesaat kemudian kalimatnya tertahan. Beliau kembali menengok ke arah gadis itu, namun kali ini disertai dengan tatapan bingung. Gadis itu balas menatapnya, lalu menyipitkan mata. Ada apa? Apa beliau tidak ingat namanya? Hei, kamu. Siapa pun kamu, langsung sebutkan saja namamu. Tak perlu sungkan. Oh, jangan-jangan...

Sekonyong-konyong, tanpa aba-aba sedikit pun, gadis itu terkulai dengan pupil mata yang terangkat. Beruntungnya, Bakas dengan sigap menangkap tubuhnya sebelum jatuh membentur tanah. Bakas membopongnya sepanjang perjalanan menuju kediamannya sementara saya mengekor padanya sambil terus memperhatikan langkah.

Her Blue LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang