Bab V

15 2 0
                                    

"Nggak bosen liburan di sini, Kak? Di sini, kan nggak terlalu banyak tempat wisatanya." Karena motor yang kami naiki dijalankan dengan pelan, maka tidak ada sedikit pun riuh angin yang meredam suara Surya. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mengobrol dengannya.

"Lumayan banyak, kok. Di kota malah nggak ada sama sekali, kan? Yang ada cuma mal."

"Iya juga, sih."

"Paling enggak, di sini suasananya nggak gaduh kayak di kota. Udaranya juga bersih. Itu, sih yang aku cari di sini."

"Oh..."

Obrolan terputus. Sepertinya tak ada lagi yang ingin ia tanyakan perihal alasan kedatanganku ke sini. Saat mulut kami sedang sama-sama bungkam, aku memilih untuk mengalihkan pandanganku ke arah danau. Kulihat ada satu sampan yang ditumpangi dua orang pria paruh baya yang baru saja menepi. Sepertinya mereka baru saja pulang setelah semalaman memancing ikan di tengah sana.

Tatkala pemandangan sekelompok wanita yang tengah mandi atau mencucui pakaian melintas di hadapanku, dengan refleks aku menggeser pandanganku ke arah lain untuk menghindari kesalahpahaman. Mungkin karena sudah bosan diam, otakku yang baru saja menemukan kalimat basa-basi langsung memerintahkan mulutku untuk menuturkannya.

"Kampusmu juga sedang libur, kan? Liburnya barengan sama kampus kami, ya?"

"Iya, Kak. Tapi, kami liburnya sudah seminggu lebih."

"Oh... kamu berangkat mudiknya bareng Melanie?"

"Nggak, Kak. Aku udah sering ajak, tapi dia nggak pernah mau."

"Wah, padahal lebih bagus kalau dia bareng sama kamu, ya. Biar bagaimana pun juga dia kan perempuan. Aku kemarin sudah bilang kalau mau mudik bareng dia, dia malah pergi duluan. Lupa katanya."

"Sifat pelupanya lumayan gawat juga, ya."

"Hahahaha..."

Sejenak aku teringat dengan kejadian barusan, yang mana ia dibentak-bentak oleh gadis tomboi itu. Perasaan tidak enak hatiku kembali menghampiri. Biarpun kelihatannya tidak demikian, namun tetap saja aku khawatir ada dendam yang bersarang di hatinya bahkan tanpa ia ketahui.

"Maaf, ya, kalau Melanie sering ngebentak kamu," ucapku seraya menepuk pelan sebelah bahunya.

"Ah, nggak apa-apa, Kak. Santai aja. Nggak terlalu sering juga, kok. Dia kan sejak kita kecil memang begitu cara ngomongnya." Surya tertawa getir. Kalimat "nggak terlalu sering" itu pasti hanya untuk menutupi lukanya saja.

"Kayaknya kamu suka banget, ya, sama dia. Maksudku, kamu dari dulu sudah suka sama dia, dan menurut dia kamu udah sering nembak dan sesering itu juga dia nolak. Dia juga kasar ke kamu. Apa yang buat kamu terus suka sama dia yang begitu?" Sepertinya aku terlalu banyak bicara, ya.

"Em... singkatnya, sih dia cantik. Selain itu, ya... Kakak juga sudah tahu, kan."

"Iya, aku masih ingat kalau itu."

"Anu... Kak Enggar bisa nggak bantu aku, gitu? Atau mungkin Kak Enggar punya tips dan saran supaya bisa luluhin Lani? Hehehe..."

"Wah... maaf, kalau itu, sih nggak bisa. Kayaknya untuk saat ini dia memang belum tertarik untuk dekat sama cowok. Aku belum pernah lihat dia jalan sama cowok (dia ke mana-mana selalu sama teman cewek), atau denger-denger gosip dia lagi deket sama seseorang."

"Oh... iya. Kedengarannya seperti kabar buruk yang diikuti kabar baik, ya."

"Dilihat dari situ, sih sebenarnya kamu punya peluang. Tapi..."

"Tapi sayangnya, dia nggak tertarik sama aku. Kan?"

"Aku nggak ngomong begitu, ya."

Kami tergelak. Rasanya, hari ini dia jadi lebih terbuka sejak terakhir kali kami mengobrol seperti ini. Pada dasanya, kami ini adalah tipe orang yang tidak terlalu banyak bergaul. Yang membedakan hanya dia memiliki kadar kecanggungan yang lebih rendah dariku. Dia bisa bersikap lebih ramah, dan punya kemampuan berbicara dengan orang lain lebih baik dariku.

Her Blue LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang