Bab XX.5-3

3 2 2
                                    

Hari ke hari, minggu ke minggu, dan bulan ke bulan waktu bergulir apa adanya dalam damai. Tidak ada sesuatu yang berarti terjadi di Desa Fajar Merah. Danau Biru tetap gemerlapan dalam warna biru bak permata zamrud seperti biasa. Ternak yang dilepas menyantap rerumputan liar. Tanaman-tanaman di kebun yang memasuki musim panen. Angin sejuk yang senantiasa berhembus dari arah endapan air raksasa nan bening. Hal yang biasa itu hanya berlaku untuk desa ini, namun tidak dengan para penghuni manusianya. Layaknya semua manusia di seluruh belahan bumi mana pun, setiap hari kami pun secara bergantian mendapatkan hal-hal berarti yang terjadi pada kami, entah itu baik ataupun buruk. Termasuk saya.

Sekira 2 bulan setelah menikah, istri saya mengandung namun sungguh disayangkan, ia harus mengalami keguguran di bulan keempat. Tentu kami terserang rasa sedih, kecewa, gusar, dan sebagainya. Perlu waktu bagi kami untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Meski begitu, bumi terus berotasi pada porosnya.

Entah kenapa, akhir-akhir ini di desa kami banyak yang meninggalkan dunia dalam waktu yang berdekatan. Seharusnya, tidak perlu ada kalimat "entah kenapa" karena perihal ajal, tak satu pun manusia di bumi yang tahu. Kapan dan bagaimana kematian akan menjemputnya. Ada yang karena terserang penyakit, kecelakaan tragis, ada pula yang dibunuh oleh orang lain maupun dirinya sendiri. Namun, lagi-lagi, "entah kenapa" perasaan janggal menggelayuti diri saya karena waktunya yang sungguh berdekatan. Bahkan pernah dalam satu hari ada 2 kabar kematian yang melintas di desa kami. Meski begitu, bumi terus berotasi pada porosnya.

Lalu, di suatu pagi yang berkabut Desa Fajar Merah digemparkan oleh penemuan beberapa mayat pria yang terdampar di tepian danau. Mereka adalah sekelompok pembunuh bayaran yang tempo hari saya sewa. Salah satu di antaranya belum meregang nyawa, namun kelihatannya sudah berada tepat di ambang pintu kematian. Dengan mata membelalak dikuasai takut, ia tak henti-hentinya mengigaukan kalimat yang sama. "Dia masih hidup. Dia akan membalas dendam. Dia akan membunuh kita semua," racaunya. Hingga pada akhirnya, semua penderitaannya terangkat tatkala ruhnya lolos dari pangkal tenggorokannya.

Kalimat singkatnya tadi cukup untuk menyentil dan membangunkan rasa penasaran saya. Saya pun buru-buru menghampiri jasad yang baru saja meregang nyawa dalam keadaan mata yang masih terbelalak itu, mengusap sepasang kelopak matanya agar tertutup. Namun, yang jadi tujuan saya sebenarnya bukanlah itu. Saya ingin mengintip ingatan tentang apa yang ia lihat sebelum mati lewat sentuhan ini. Dan dalam sekejap, saya sudah masuk ke dalam pemandangan gulita di tengah Danau Biru. Sumber penerangan hanya bermodalkan satu lampu teplok yang cahayanya temaram.

Terlihat orang-orang ini tengah asyik bersenda gurau di atas sampan sambil menunggu kedatangan ikan yang sudi memakan umpan mereka masing-masing. Tiada siapa pun selain mereka yang berlayar di sana. Sekonyong-konyong, tirai kabut menyelubungi mereka. Begitu tebal sampai mata mereka tak mampu menangkap kegelapan yang ada di baliknya. Mereka yang semula masih tenang meski merasa keheranan dengan situasi itu, perlahan mulai resah tatkala perahu kayu yang mereka tumpangi beringgut dengan sendirinya ke arah timur seolah ditarik oleh seutas tali yang tak kasat mata.

Perahu ditarik hingga keluar dari selubung kabut, dan mereka pun panik bukan kepalang begitu sadar bahwa mereka ditarik ke arah sebuah pusaran air raksasa. Di tengahnya, lubang hitam tak berujung menganga seolah mulut predator yang menanti mangsanya mendekat. Mereka mengayuh sekuat tenaga, ada yang menggunakan dayung dan ada pula yang mengalih fungsikan sebelah tangan mereka menjadi kaki bebek. Lalu, (saya yakin) dari dalam pusaran air itu, terdengar kencang tawa seorang wanita yang menggema seolah mengolok-olok usaha mereka yang nampak jelas sia-sia. Dalam kepanikan, mereka terus bertanya-tanya apa gerangan suara tawa yang menggelegar itu, apa yang menanti mereka di dalam sana seandainya mereka gagal melawan arus yang menyeret mereka. Semua umpatan dan sumpah serapah pun terlontar dari mulut kotor mereka. Hei, bukankah kini 'mulut' kematian telah menganga di hadapan kalian? Bisa-bisanya kalian masih dikuasai kelancangan untuk meneriakkan kata-kata busuk itu?

Her Blue LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang