Bab XVIII

3 1 1
                                    

Seorang diri aku duduk di stadion, memandangi lalu-lalang orang bagai semut dari atas sini sambil menyantap sebungkus roti. Sama seperti hari-hari kemarin, aku tidak sempat sarapan dan ini adalah sarapanku yang nyaris telat.

Saat dalam proses mengunyah, pikiranku terlempar ke ruang kenangan 2 hari yang lalu saat kami semua sedang menikmati ikan bakar di puncak sebuah tebing landai yang berhadapan langsung dengan pantai buatan. Kala itu, begitu aku telah menyelesaikan makanku, aku pamit untuk membuang air kecil.

Ayahnya Aksara mengatakan kalau aku bisa melakukannya di toilet umum gratis yang berada di pinggiran sawah. Begitu tiba, ada sedikit rasa jijik yang menjalari ujung kaki hingga kepalaku. Bagian dalam toilet ini memang terjaga kebersihannya, namun... lantainya yang hanya beralaskan semen juga dindingnya yang dibangun dari kayu-kayu lapuk entah mengapa menampakkan kesan jorok yang langsung tertanam di alam bawah sadarku. Penampakannya yang lembab, juga remang meski di hari terang dalam sekejap membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhku menegang. Akan tetapi, aku tidak punya pilihan lain. Daripada harus melakukannya di belukar atau di balik pohon.

Begitu selesai dan membuka pintu, aku terperanjat mendapati Galih sedang berdiri santai di ambang pintu sambil merokok. Aku menepuk-nepuk pundak Galih, ada perasaan lega yang menguar dari dalam hatiku. Kehadirannya memang tak kuharapkan, namun aku lega karena yang berdiri menunggu di depan pintu ini adalah dia.

Senyum sinis merekah pada sepasang bibirnya. Tatapan mengejeknya sungguh menusukku. Dalam hati aku bertanya-tanya apa maksud dari tindakannya itu saat ia berjalan masuk ke toilet. Dengan tangan memegang daun pintu hendak menutupnya, ia mengangkat sebelah alis dan bertanya, "gimana? Udah lihat, kan? Seberapa dekat aku sama keluarga Acha. Masih yakin bisa dapetin dia?"

Aku menatapnya dengan kepala yang mendadak kosong. Kalimatnya barusan memang mencapai telingaku, namun seolah lenyap begitu saja sebelum sempat dicerna oleh otakku. Apa maksud perkataannya itu? Ia menjatuhkan rokok di jemarinya, kemudian menginjaknya bak keset hingga apinya padam dan hanya menyisakan asap tipis yang dengan segera lenyap di tengah udara kosong.

"Iya?" Aku menuntut pengulangan kata darinya dalam bingung.

"Kita lagi bersaing sehat, kan? Kau lupa?"

"Bersaing buat apa?"

"Nggak usah pura-pura bego. Jadi, kenapa kau lihat-lihatin Acha terus? Kau suka dia, kan?"

"Soal suka itu urusan nanti. Soal kenapa aku lihat-lihat dia, ya, karena aku punya mata-lah. Kebetulan aja dia ada di area pandangku waktu aku lagi lihat-lihat sekitar. Nih, sekarang aku lagi lihatin kamu. Jangan bilang kamu pikir aku suka kamu?"

"Iya-iya... kalau gitu, aku akan terus awasi kau."

"Silakan!"

"Yaudah. Sana, sana. Nggak usah nungguin aku. Nggak perlu barengan ke sana."

"Aku juga nggak ada niat buat nungguin kamu. Toh, kamu yang ngehentiin langkah aku karena ngajak aku ngomong."

Terakhir, ia mendengus singkat dengan maksud untuk merendahkanku sebelum akhirnya menghilang di balik pintu yang ia tutup dengan kasar. Apa-apaan berandal itu? Tidak ada sedikit pun hormat ke yang lebih tua. Aku bukannya gila hormat, tapi sikapnya yang kurang ajar itu benar-benar menjengkelkanku. Aku melempar lempengan seng yang menempel di pintu toilet dengan sebuah kerikil yang lumayan keras, mengakibatkan ia berteriak "woi" di dalam.

Baru kali ini aku bertemu dengan orang sekurang ajar itu yang usianya jauh di bawahku. Lagipula, siapa juga yang mau bersaing? Aku memang suka Aksara, tapi kalau dia mau, ya silakan saja. Sangat tidak perlu menganggapku saingan. Kumasukkan sisa rotiku yang ukurannya hanya tinggal sejari telunjuk ke dalam mulutku. Lalu, kutandaskan segelas air mineralku dalam 3x teguk dan segera berjalan kembali ke ruang guru meski bel masuk belum berbunyi.

Her Blue LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang