01

13 2 0
                                    


Seperti biasanya, pagi ini Raura berangkat sekolah bersama Farazi. Tak ada yang berbeda dari hari hari sebelumnya, Farazi yang selalu mengabari Raura untuk menunggunya di teras rumah. Raura tak menolak, ia senang Farazi mau menjemputnya tanpa permintaan sama sekali dari gadis itu.

Deru mesin motor milik Farazi mulai terdengar, Raura lantas tersenyum menatap sang lelaki.

"Oi zi, udah sarapan?" Tanya Raura pada Farazi yang baru saja melepas helmnya.

Pertanyaan yang selalu Raura tanyakan kepada Farazi setiap Farazi menjemputnya dipagi hari.

"Udah ra, mau berangkat sekarang? Masih pagi banget sih ini," Farazi duduk dikursi bersebelahan dengan Raura.

"Gue lagi pengen banget makan buryam dideket lampu merah itu, kita kesana dulu yuk? Mumpung masih pagi gini." Ucap Raura sembari menatap Farazi yang langsung menganggukkan kepalanya setuju.

"Ayo." Sahut Farazi lalu berdiri dan menggandeng Raura, "eh udah pamitan belum?" Lanjut Farazi.

"Udaaaaah tadi subuh sebelum pada berangkat kerja." Mendengar itu, Farazi tersenyum simpul.

"Yaudah, nih helm lo." Sembari menyodorkan helm milik Raura, Farazi sempat sempatnya menepuk puncak kepala Raura sambil terkekeh pelan.

"Yuk berangkat!" Seru Raura ketika sudah duduk manis di jok belakang Farazi.

Farazi menyalakan motornya dan mulai beranjak dari pekarangan rumah Raura menuju tempat penjual bubur ayam yang diinginkan Raura sebelum ke sekolah.

Perjalanan yang mereka lalui hanya hening, keduanya memang tak terbiasa mengobrol ketika sedang dalam perjalanan. Raura yang memang suka tak mendengar ketika Farazi berbicara saat motornya melaju. Farazi yang malas berteriak agar Raura mendengar perkataannya.

Momen momen seperti ini, sudah menjadi rutinitas dua sejoli itu. Tak mengherankan mengapa mereka berdua sering dikira tengah menjalin hubungan asmara. Farazi tak pernah menyangkalnya, ia malah dengan sengaja membuat spekulasi orang orang tentang hubungannya dengan Raura semakin tak karuan.

Dengan tengilnya, ketika ada yang bertanya kepada Farazi tentang hubungannya dengan Raura, pemuda itu lantas menjawab "kalo pacaran kenapa? Kalo engga ya kenapa juga?"

Jika Raura tepat ada di sekitar Farazi, sang gadis dengan cepat menyahut dan mengelak dengan semua tuduhan tuduhan mengenai hubungan mereka.

Meski begitu, ketika sedang bersama teman teman Farazi, Raura tak segan segan memanggil Farazi dengan sebutan sebutan yang biasanya digunakan oleh sepasang kekasih. Farazi malah senang dengan perlakuan Raura. Teman teman Farazi yang juga merupakan teman teman Raura tak terlalu membawa serius tentang tingkah laku dua orang itu. Tak jarang, teman teman Raura dan Farazi menggoda mereka.

><

15 menit hening, Farazi menepikan motornya di sebuah kedai bubur ayam sederhana yang diinginkan oleh Raura.

"Ra," Panggil Farazi membuat Raura tersentak dari lamunannya. Dengan cepat, Raura turun dan melepaskan helmnya.

"Kangennnn makan bubur disinii." Ucap Raura penuh semangat, Farazi hanya menggelengkan kepalanya pelan, "dasar tukang nyabu." Sahut lelaki itu.

Raura hanya memutar bola matanya malas, selalu saja seperti itu. Farazi selalu menyebutnya 'tukang nyabu' karena Raura sangat suka makan bubur di tempat yang mereka datangi sekarang.

"Sekali lagi ngatain gue tukang nyabu, gue pitak rambut lo." Ancam Raura yang bukannya membuat Farazi takut tetapi justru sang pemuda malah tertawa mengejek.

"Mana pateeeeen." Farazi buru buru melangkah mendahului Raura karena takut gadis itu menendang kakinya.

Dengan wajah ditekuk, Raura duduk disamping Farazi sembari menunggu pesanan bubur mereka dibuatkan. Melihat hal tersebut, Farazi semakin dibuat tertawa.

"Eleuh eleuh si anying manyun bae." Goda Farazi dan dihadiahi oleh tendangan dari Raura.

"Sakit ra!" Pekik Farazi.

"Bodoamat, gapeduli gue." Acuh Raura lalu kembali memanyunkan bibirnya.

"Jelek lu manyun gitu, ntar si jehyuk gamau lagi sama lu." Ucapan Farazi itu mendapat pelototan tajam dari Raura, "gausah bawa bawa pacar gue." Ucapnya tajam.

"Iya elah sensi amat napasi." Farazi menaikkan sebelah alisnya.

"Suka suka gue." Lagi lagi Raura menyahut dengan jengkel.

"Iyaa siap salah, lama lama gua masuk akpol aja dah." Ucap Farazi nyeleneh membuat Raura yang tadinya kesal menjadi sedikit tertawa.

"Masuk rsj aja gue saranin zi, ga cocok bentukan lo masuk akpol." Jawab Raura.

"Ai sia, mana ada orgil se ganteng gua??" Tanya Farazi menatap Raura heran.

"Gue ga ngatain lo orgil???" Raura juga menyahut dengan heran, "lah iya bener, kok gua mengakui kalo gua orgil." Gumam Farazi yang masih bisa didengar oleh Raura.

"Makanya sarapan pagi tuh sayur kek, nasi kek, ini malah nyemilin micin, ga heran otaknya sisa seperempat." Sinis Raura membuat Farazi kalah telak.

"Kok lu tau gua tadi pagi nyemilin micin?" Farazi tetaplah Farazi, pemuda berbahu lebar itu akan terus menjawab ucapan Raura sampai Raura protes dan melakukan kekerasan -- ringan -- terhadap Farazi.

"Udah ketebak sih modelan lo nih suka makan micin sampe satu toples pun lo abisin." Kalimat terakhir Raura sebelum Farazi memiting lehernya.

"Aziiii sakit nih gila! Berantakan rambut gue huhuhuu." Pekik sang gadis dan berlagak seolah benar benar tersakiti. Farazi tak menghiraukannya, "siapa suruh bilangin gua begitu." Kesal Farazi sambil mendengus.

"Idihh kan tadi gue yang ngambek, kenap--"

"Misi mbak mas, ini pesanannya." Ucapan Raura terpotong ketika pelayan kedai datang menyajikan pesanan mereka. Mata Raura berbinar, ia betul betul merindukan bubur tersebut. Sudah hampir dua minggu Raura tak mampir dan merasakan lezatnya bubur ayam favoritnya itu. "Makasih ya kak!" Seru Raura dan dibalas senyuman dari sang pelayan.

"Nih dimakan zi, gausa sok sok ngambek lo, kaya jamet." Raura menyodorkan semangkuk bubur kepada Farazi yang masih setia mempertahankan wajah ngambek nya.

"Buruan ih Gianta Defarazi, nanti telat." Suruh Raura dan Farazi pun akhirnya mengalah.

"Iya iya, abis ni gua beneran mau masuk akpol dah." Pada akhirnya, Farazi akan tetap kalah oleh perlakuan dan perkataan Raura. Farazi melahap buburnya dengan tenang begitupun juga Raura.

Jujur saja, Farazi sebenarnya sudah kenyang karena di rumah sudah sarapan. Namun karena ajakan Raura, ia merasa tergiur, sama seperti Raura, Farazi juga merindukan kelezatan bubur yang sedang disantap olehnya. Tetapi tetap saja, perutnya tak bisa berbohong, Farazi sudah benar benar kenyang.

"Ra, gua kenyang banget buset. Lu abisin ya punya gua?" Tanpa pikir panjang Raura langsung mengangguk setuju, "siniin punya lo." Pinta Raura.

Senyum sumringah Raura membuat Farazi tersenyum gemas.

"Ra liat sini ra," Farazi mengarahkan ponselnya ke wajah Raura yang bingung, 'cekrek!' bunyi kamera ponsel menyadarkan Raura.

"Lahhh ngapain lo foto sih faraziiii." Sungut Raura gemas ingin melempar Farazi ke dalam sungai.

"Buat koleksi," Sahut Farazi lalu memainkan alisnya dengan menyebalkan.

"Heh! Foto gue mau lo buat macem macem ya?!? Ngaku!" Panik Raura lalu berusaha merebut ponsel milik Farazi.

Jiwa tengil Farazi yang memang sudah mendarah daging membuat pemuda itu semakin senang menjahili Raura.

"Lumayan sih ini buat pinjol." Farazi tersenyum miring.

"Farazi lo jangan macem macem ah." Kata Raura mulai pasrah dengan kelakuan Farazi, ia pun kembali memakan buburnya dengan tergesa gesa. Melihat itu, Farazi merasa bersalah.

"Bercanda elah raaa. Palingan gua cetak terus gua simpen di dompet biar kalo kangen tinggal liat foto lu." Eh??

><

RUMIT [aku, kamu dan kita.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang