09

16 1 0
                                    


Akan ada pelangi setelah hujan, akan ada bahagia setelah luka. Mungkin ada benarnya kata kata tersebut, tapi nyatanya tak semua berjalan sesuai dengan rancangan imajinasi dan kalimat semangat yang tak ada habisnya.

Takdir tetaplah takdir, tak ada yang bisa mengubah selain sang Maha Pencipta.

Hujan sudah reda, hari pun mulai memasuki waktu petang. Raura membangunkan Farazi yang tengah tertidur bersandar dipundaknya. Entah mengapa pemuda itu suka sekali bersandar dibahu sempit milik Raura.

"Zi bangun zi, udah berenti nih hujannya. Pulang yuk," Farazi yang mendengarnya langsung menegakkan badan dan mengerjapkan mata beberapa kali.

"Ayo," Tangan besar Farazi memegang tangan Raura. Setelahnya mereka berdua meninggalkan ruko tersebut dan pulang kerumah.

Farazi mengantarkan Raura dengan selamat sampai kerumah sang gadis, "gua pulang ya." Ucap pemuda itu disertai senyumannya.

"Hati hati, jangan ngebut soalnya masih licin." Peringat Raura, Farazi itu sangat ceroboh, sering kali jatuh dari motor apabila jalanan sedang licin karena tentu saja sang pemuda membawa motornya dengan kecepatan penuh.

Tak banyak bicara, Farazi pulang dengan perasaan mengganjal.

Ketika sudah menginjakkan kakinya di depan rumah, adiknya, Kanaya, terlihat resah.

"A azi, mama a, mama kecelakaan." Seperti sebuah batu yang menghantam ubun ubunnya, Farazi tercengang memproses perkataan adiknya.

Kanaya memeluk kakaknya sambil terisak menumpahkan segala ketakutannya. Farazi balas memeluk Kanaya guna menenangkan.

"Kapan dek?" Suara Farazi terdengar lemah.

"Hik .. b-baru aja a, hik.." Jawab Kanaya dengan napas tersenggal senggal.

Memejamkan matanya sejenak, mengontrol perasaan yang campur aduk. "Sekarang mamanya gimana? Kamu dapet kabar dari siapa?" Tanya Farazi mencoba kuat.

"K-kata hik.. temen kerjanya mama, tante wina, mama udah hik.. d-di rumah sakit hik.." Kanaya masih setia memeluk Farazi, "tadi alamatnya udah dikirim kok ke aku." Lanjut Kanaya mengusap air matanya.

"Kita kesana ya, kunci dulu rumahnya." Ucap Farazi sembari menepuk kepala adiknya. Kanaya pun bergegas mengunci rumah.

Kali ini, mau tak mau Farazi terpaksa meminjamkan helm Raura kepada sang adik, nantinya Farazi akan mengabari Raura, ia yakin Raura pasti mengerti, lagi pula itu hanya perkara helm.

"Nih pake jaket aa," Farazi memakaikan jaketnya untuk Kanaya dan membiarkan tubuhnya hanya di balut seragam sekolah.

Kakak beradik itu sama sama merapalkan doa demi keadaan sang Ibunda.

><

Derap langkah penuh kekhawatiran terdengar diseluruh lorong rumah sakit. Tak memperdulikan orang orang yang berlalu lalang, Farazi berjalan cepat dan sebelah tangannya memegang tangan Kanaya.

Didepan ruang gawat darurat, ada dua orang sedang duduk menunggu pasien didalamnya.

"Ayah!" Kanaya menubruk tubuh sang Ayah kemudian diikuti oleh Farazi, tiga orang itu berpelukan penuh haru. Disamping Ayah mereka, Tante Wina, orang yang mengabari kedua bersaudara itu terlihat lega namun juga cemas secara bersamaan.

"Gimana keadaan mama yah?" Tanya Farazi ketika melepas pelukan mereka.

"Dokter masih belum ngasih kabar apa apa, kita doain aja yang terbaik buat mama kalian." Jawab sang kepala keluarga itu.

"Azi, kamu ngga ganti baju dulu? Itu seragam kamu keliatannya masih basah gitu," Ucap Tante Wina membuat Farazi tersadar bahwa memang pakaiannya sudah basah.

Di perjalanan tadi, hujan kembali turun meski hanya gerimis, namun tetap saja membuat seragam tipis Farazi basah.

"Oh iya tan, nanti aja abis denger kabar mama." Sahut Farazi seraya tersenyum meyakinkan.

Tante Wina hanya menghela napasnya.

Sudah hampir setengah jam berlalu, barulah dokter keluar dari ruangan pasien kemudian menghampiri Farazi dan keluarganya.

"Kondisi pasien memang sudah membaik, namun masih belum sadarkan diri. Kemungkinan besok pagi sudah siuman. Pasien bisa sudah bisa dijenguk, tapi sekarang ini mau dipindahkan terlebih dahulu ke ruang perawatan," Jelas dokter.

"Terimakasih dok," Ayah Farazi sedikit membungkukkan badannya.

"Kalau begitu saya permisi," Sang dokter berlalu meninggalkan mereka.

Penjelasan dari dokter membuat Farazi tentunya merasa tenang. Kecemasan yang sedari tadi menghantuinya perlahan berkurang.

Hari yang memang sudah gelap akibat mendung, bertambah gelap karena memasuki waktu malam. Farazi sudah tak lagi memperdulikan penampilannya yang acak acak an. Rambut yang tak karuan, baju yang terlihat kusut, benar benar berantakan.

Wajah lelah Farazi tentunya mengundang prihatin dari sang adik, Kanaya.

"Aa kalo cape, sini nyender di aku, tidur aja gapapa." Farazi membalas dengan senyumannya.

"Ngga usah, aa ngga cape kok, abis ini kita liat mama ya." Sahut sang pemuda. Kanaya mendengus, aa-nya itu akan selalu berusaha terlihat baik baik saja padahal Kanaya tahu lelaki tersebut lelah luarbiasa.

Setelah Ibunda Kanaya dan Farazi dipindahkan ke ruang perawatan, kakak beradik itu pun bersama sama menjaga sang Ibu diruangan tersebut. Pak Bima, Ayah mereka, sengaja meminta ruang VIP untuk istri tercintanya. Tentu juga hal tersebut agar lebih memudahkan ia dan anak anaknya menjaga sang istri dengan leluasa.

Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok Tante Wina dan Pak Bima dibelakangnya. Sepertinya dua orang dewasa itu baru saja datang dari kantim rumah sakit, sebab terlihat membawa beberapa bungkus makanan serta minuman.

"Naya, Azi, ini tante beliin makanan sama minuman, pasti pada laper kan?" Ucap Tante Wina dan menyuguhkan hidangan yang dibelinya.

"Makasih ya tante, maaf ngerepotin." Farazi merasa tak enak karena hari ini sudah banyak merepotkan Tante Wina.

"Gapapa kok. Oh iya, maaf nih tante gabisa lama lama, om jordi udah jemput nih. Nanti besok insyaAllah tante kesini lagi buat jengukin mama kalian." Tante Wina berdiri dan menyampirkan tas nya.

"Iya tante, sekali lagi makasih banyak ya. Hati hati dijalan, titip salam buat om jordi," Balas Farazi, "twantwe twitip.. twitip salam buat kak bebby!" Seru Kanaya yang masih mengunyah makanannya.

"Husss naya, ditelen dulu makanannya." Tegur sang Ayah dan dihadiahi oleh cengiran kuda Kanaya.

"Siapp cantik, pulang dulu ya, duluan bim." Pamit Tante Wina sambil menepuk pundak Pak Bima.

Tante Wina pun pulang, hanya tersisa keluarga kecil tersebut didalam ruang rawat.

Farazi dan Kanaya sibuk memakan makanan mereka, Pak Bima duduk disamping ranjang dan mengusap dahi istrinya. Melihat itu, Farazi terkekeh, Ayahnya begitu mencintai sang Ibu. Farazi bersyukur, meski bisa dibilang pekerja keras dan jarang dirumah, itu semua tak menyurutkan cinta mereka, entah kepada pasangannya maupun kepada anak anaknya.

Maka dari itu, Kanaya dan Farazi tak pernah yang namanya kekurangan kasih sayang. Mereka berdua tumbuh menjadi sosok pribadi yang penuh cinta kepada siapapun, tak mengherankan apabila perilaku mereka kepada orang yang dicintai sama seperti sang Ayah dan Ibu yang saling memadu kasih.

Itulah alasan mengapa Farazi, memperlakukan sang gadis, Raura Tyanasta, dengan perasaan penuh cinta juga kasih sayang. Lantas, apakah hal tersebut menjadi sebuah pernyataan bahwa selama ini, Farazi ternyata telah mencintai Raura? Tentunya jawaban hanya bisa terlontar dari Farazi sendiri.

><

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RUMIT [aku, kamu dan kita.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang