Minggu pagi, waktunya bermalas malasan. Setelah seminggu penuh melakukan banyak kegiatan yang mengharuskan bangun pagi, maka kebanyakan orang menjadikan hari minggu hari dimana mereka bisa bangun lebih siang.Tentunya, Raura juga sama. Ia bangun pukul 10 pagi, entah bisa disebut pagi atau siang.
Setelah sarapan, gadis itu kembali mengurung dirinya di kamar untuk kembali melanjutkan tidurnya. Menggulung diri didalam selimut adalah kesukaan Raura.
Baru beberapa menit Raura mulai tertidur, pintu kamarnya di ketuk oleh sang kakak.
"Raaaa, itu ada Farazi!" Panggil Kak Eca sedikit berteriak agar Raura mendengarnya.
"Bilangin raura nya mau mandi dulu," Sahut Raura dari dalam dan lantas bergegas bersiap untuk mandi meskipun diiringi dengan gerutuan.
Sepertinya, sehari tanpa nama Farazi, hidup Raura tak akan pernah lengkap. Karena setiap hari pasti ada terselip setidaknya satu nama Farazi. Raura juga bingung mengapa dirinya begitu bergantung dengan seorang Gianta Defarazi.
Berbeda dengan Raura yang baru saja mandi, Farazi sudah rapi duduk di ruang tamu dan mengobrol bersama ayahanda Raura.
Bukan hal baru bagi Farazi berbincang ringan dengan lelaki paruh baya tersebut, kedekatan Farazi dengan keluarga Raura adalah sebuah keberuntungan bagi pemuda itu. Bagaimana ia dipercayai menjaga si bungsu, yakni Raura. Bagaimana Farazi selalu disambut hangat ketika berkunjung. Membuat sang pemuda merasa memiliki andil dalam kehidupan Raura.
"Om mau kebelakang dulu ya zi, kamu tungguin aja tuh si memble." Gurau Ayah Raura dengan menyebut anak bungsunya 'si memble.'
"Iya om," Jawab Farazi ikut tertawa mendengar perkataan Ayah Raura.
Beberapa saat kemudian, Raura menghampiri Farazi dengan tampilan yang sudah segar. Farazi menatap Raura lamat lamat, gadis itu terlihat cantik dengan rambutnya yang digerai setengah.
"Ngapain?" Tanya Raura berusaha untuk tidak canggung akibat kejadian tadi malam dan gadis itu pun duduk di samping Farazi.
"Numpang ke toilet," Farazi menyahut sekenanya.
"Jauh amat, pasti air di toilet rumah lo abis gegara lo buang buang." Tuduh Raura membuat Farazi dengan cepat menyanggahnya, "sotau lu."
"Lah terus kenapa kesini kalo cuman mau ke toilet?" Raura pura pura tak mengerti maksud kedatangan si pemuda.
"Menurut ngana," Mata Farazi mendelik tajam. Tanpa aba aba, Farazi menjadikan paha Raura sebagai bantalannya untuk berbaring.
"Kenapa lo? Sakit?" Tanya Raura ketika merasakan kening temannya itu sedikit panas.
"Ngga tau, cuman lagi cape aja." Jawab Farazi seadanya lalu membiarkan Raura mengusap rambutnya.
"Kalo cape tuh tidur aja dirumah, gausa kesini." Tangan Raura masih setia diatas kepala Farazi membuat empunya merasa nyaman.
"Biarin aja. Gua kesini kangen sama lu." Farazi, bisakah dirimu berhenti mengucapkan kata rindu yang entah tiada ujungnya itu.
><
Mendengar dengkuran halus Farazi, Raura kembali menempelkan punggung tangannya di kening pemuda itu. Benar saja, Farazi demam. Mau tak mau, Raura harus membangunkan Farazi untuk menyuruhnya berpindah ke kamar Raura.
"Zi bangun dulu," Raura berbicara sambil menepuk pipi Farazi secara perlahan.
Farazi menggeliat tak nyaman lalu membuka netranya untuk bangun dan duduk. Meringis pelan, Farazi menyipitkan matanya guna menyeimbangkan cahaya yang masuk.
"Pindah yuk, biar enak tidurannya." Tanpa menjawab, Farazi hanya mengikuti Raura dari belakang.
"Kenapa tuh ra?" Tanya Kak Eca yang kebetulan lewat, "kecapean, mau aku suruh tidur di kamar aja." Kak Eca pun mengangguk dan berlalu.
Semua orang dirumah ini percaya bahwa Raura dan Farazi tak akan berbuat macam macam meskipun hanya berdua di dalam kamar.
Raura menuntun Farazi untuk membaringkan dirinya dikasur gadis itu. "Tidur aja, nanti pas bangun baru minum obat."
Ketika Raura ingin berdiri, Farazi menahan lengan Raura membuat sang gadis kembali terduduk. Beberapa saat, hanya hening yang mendominasi. Raura membiarkan Farazi memegang lengannya erat.
"Disini aja," Ucap Farazi dengan mata terpejam.
"Iya ini ga kemana mana. Udah tidur sana." Pinta Raura dan Farazi pun menurut.
Merasa bosan, pada akhirnya Raura pun tertidur dengan posisi duduk dan kepalanya menumpu dipinggiran kasur. Bukan hal yang aneh, Raura terbiasa seperti ini karena dulu disaat sekolah menengah pertama, Farazi sering demam dan tak mau ditinggal. Sedangkan ibunya seorang wanita karir yang jarang dirumah, ayahnya juga sama jarangnya berada dirumah. Kakaknya sudah berkeluarga, adiknya baru kelas 2 SD dan tak mengerti cara merawat orang sakit.
Terpaksa Raura lah yang dipercaya untuk menjaga Farazi, sehingga gadis itu terbiasa dengan kondisi seperti sekarang ini.
Jika dilihat lihat, memang sedekat itu hubungan keduanya. Mau bagaimanapun mereka berkata bahwa mereka bukanlah sepasang kekasih, namun nyatanya penglihatan orang orang justru berbanding terbalik dengan elakan mereka.
Semesta memang lebih suka bercanda, terlihat manis tapi bukan sesuatu yang pasti. Seharusnya kita tidak boleh terjatuh ke dalam lubang permainan takdir.
Tapi, apa yang bisa kita lakukan selain menjalaninya? Tentu tidak ada.
Begitupun dengan Raura, tak ada yang bisa gadis itu lakukan selain menjalani takdirnya yang harus jatuh cinta kepada teman dekatnya sendiri. Raura merutuki kebodohannya, bagaimana bisa ia menyukai lelaki yang malah menyukai gadis lain.
Sebuah kesalahan yang sebetulnya tidak terlalu fatal jika saja Raura pandai mengontrol perasaannya.
Namun, Raura bukanlah gadis dingin nan angkuh yang tak tersentuh oleh perlakuan manis seorang pria.
Raura jatuh cinta dengan alasan yang masuk akal. Semua yang terjadi diantara dirinya dengan Farazi jelas membuat gadis itu menaruh rasa.
Mungkin saja Raura harus bersabar sedikit lagi. Entah kedepannya ia harus melepas Farazi atau justru menarik Farazi kedalam pelukan hangatnya.
Usapan dipucuk kepala Raura membuatnya sedikit terusik namun tak berniat untuk bangun, membiarkan pelaku yang mengusap rambutnya berbicara lirih tetapi masih bisa didengar.
"Ra, maaf kalo semisalkan gua bikin lu jatuh hati. Tapi gua ngga akan bisa jauhin lu, ntah gimana gua kalo suatu saat harus pisah sama lu. Sesayang itu gua ra, sama lu. Jangan tinggalin gua ya ra," Usapan tangan Farazi terhenti ketika Raura beralih menatap pemuda itu.
"Maaf udah lancang jatuh cinta sama lo, tolong, jangan bikin gue makin naruh perasaan buat lo. Biarin gue lepas kalo emang hati lo udah buat orang lain. Zi, gue gaakan ninggalin lo sampe lo sendiri yang minta gue buat pergi dari hidup lo." Raura memegang telapak tangan Farazi dan menatapnya lekat.
Farazi bergerak merengkuh tubuh Raura kedalam pelukannya. Membenamkan wajahnya di ceruk leher si gadis.
Membiarkan waktu seolah berhenti sejenak, tak bisa dipungkiri, keduanya sama sama menumpahkan percikan aneh yang muncul dihati masing masing.
Tangan Raura memegang bahu seluas samudra milik Farazi, "gue juga sayang sama lo zi. Jangan tinggalin gue .."
><