3. Benteng Pertahanan.

20 4 0
                                    

Sebelum tiga hari yang lalu, Sandra masih bisa merasakan kehidupan yang normal. Tapi sejak tiga hari yang lalu, kehidupan normalnya terasa seperti mimpi yang akhirnya berakhir. Dia dipaksa bangun dan harus menghadapi kenyataan, bahwa mustahil baginya memiliki kehidupan normal sejak memasuki ruangan itu.

Sandra melihat jam di mejanya untuk yang kesekian kali lalu menghela napas panjang, jam pulang kantor sudah berakhir sejak empat jam yang lalu. Gedung bertingkat ini bahkan mulai sepi. Tapi dirinya masih berada di sini, di meja sekretaris dengan tumpukan dokumen. Padahal Sandra sudah memastikan dokumen ini sudah sempurna, tapi Alex selalu saja menemukan kesalahannya. Bahkan meski kesalahan itu tidak ada.

Sifatnya yang satu itu sama sekali tidak berubah. Kejam.

"Masih belum selesai? Bisa kerja nggak sih sebenarnya." Kata-katanya juga masih menusuk seperti biasa. Tapi yang bisa Sandra lakukan hanya bersabar.

"Sebentar lagi pak, satu dokumen lagi." Ucapnya formal.

"Waktu saya terbuang sia-sia karena harus nungguin dokumen itu. Bisa kerja lebih cepet nggak?" kata Alex sembari melihat jam tangan yang lingkar di tangannya. Seolah Sandra memang telah membuang waktunya.

"Anda bisa pulang sekarang pak, dokumen ini bisa ditanda tangani besok." Ujar Sandra sesopan mungkin.

"Kamu berani nyuruh saya?" Alex menatapnya dingin.

"Bukan maksud saya begitu." Sandra menekan perasaan kesalnya kuat-kuat. Dia juga terlambat pulang karena siapa. Dasar tidak tahu diri.

Ketika Alex hendak membuka mulut, ponsel Sandra yang berbunyi membuatnya urungkan niat. Meski sedetik Sandra melirik Alex yang berdiri di depan mejanya sebelum melihat kayar ponselnya, dia terlihat agak gugup. Sandra hanya terus menatap ponselnya sampai seseorang di seberang sana menyerah menghubunginya. Sandra menyimpan benda persegi panjang itu di dalam tas, bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Semua gerak-geriknya itu tak lolos dari perhatian Alex. Saat Alex kembali ke ruangannya, otaknya tanpa bisa dicegah memikirkan kelakuan Sandra baru saja.

"Semua dokumennya sudah selesai pak." Dengan lega Sandra meletakan tumpukan dokumen tersebut di meja kerja Alex. Alex mengamati Sandra untuk beberapa saat, membuat wanita itu sedikit tidak nyaman.

"Saya capek, besok aja." Ucap Alex tanpa beban.

Dia berdiri dan keluar dari ruangannya dengan langkah ringan, sama sekali tidak melirik Sandra sedikitpun. Sandra menatap kepergian Alex dengan tak percaya. Bagaimana bisa orang itu bertingkah sangat arogan.

Sumpah serapah mendesak ingin keluar dari mulutnya, tapi Sandra menahan diri. Dia sudah cukup lelah hari ini, yang diinginkan Sandra adalah pulang dan istirahat. Wanita berambut sebahu itu meraih tas kerjanya, membawa beberapa dokumen yang perlu dipelajari pulang bersama. Sandra menghela napas lelah ketika sampai di lobi perusahaan, sejak tadi Sandra berusaha memesan ojek online tetapi selalu ditolak. Mereka ini sudah banyak uang atau sedang mogok kerja, bisa-bisanya menolak rejeki. Sandra mengomel dengan suara lirih.

Setelah lima belas menit menunggu, Sandra akhirnya menyerah. Dia akhirnya harus pergi cukup jauh untuk mencari taksi. Tapi pada jam ini taksi pun sulit ditemui, kebanyakan sudah terusi penumpang lain.

"Mbak, butuh taksi nggak?" Sandra terkejut ketika tiba-tiba sebuah taksi berhenti disebelahnya.

"Iya, butuh." Sandra akhirnya dapat bernapas lega. Taksi berjalan setelah Sandra mengatakan alamat rumahnya.

Sandra melepaskan sepatunya, mengurut betisnya yang terasa seperti akan pecah. Mulai sekarang Sandra tidak akan menggunakan sepatu berhak lagi. Setidaknya selama dia masih bekerja pada Alex. Sandra yang kelelahan tanpa sadar tertidur sepanjang perjalanan pulang, padahal Indah- sahabatnya sudah memperingatinya bahwa tidur diangkutan umum itu berbahaya. Tapi Sandra tidak bisa menahan kantuk yang menyerangnya.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang