2. Awal Mula Kita.

29 3 0
                                        

Masa muda, masa penuh gairah dan kebebasan akan hidup, tapi Alex menguap bosan untuk kesekian kalinya. Pemuda dengan seragam putih abu-abu tersebut bermandikan keringat, kulitnya yang putih mulai dihiasi ruam merah akibat berjemur ditengah terik matahari. Ini salahnya sendiri, seharusnya Alex tidak tertidur pada jam pelajaran Pak Sentot- salah satu guru killer di sekolahnya. Karena kebandelannya tersebut Alex harus berdiri di tengah lapangan memberi hormat pada Sang Saka Merah Putih sampai pelajaran Pak Sentot selesai. Artinya dia masih harus berada di bawah guyuran sinar violet tiga puluh menit lagi.

"Kalau gue kena kanker kulit, kumis lele itu harus tanggung jawab." Gerutunya, mengingat kumis lele Pak Sentot yang sering dipelintir saat sedang marah.

Alex awalnya berpikir, bahwa hari ini adalah hari tersial dalam hidupnya. Pagi dia terlambat bangun hingga harus mengendap-endap lewat tembok belakang sekolah agar bisa masuk, lupa membawa buku PR hingga mendapat teguran dari guru, perutnya lapar karena belum sarapan dan sekarang dia berada di sini. Tapi ternyata hari yang Alex anggap sebagai mimpi buruk, adalah hari dimana dia bertemu dengan pujaan hatinya.

Alex tumbang ketika sebuah bola menghantam belakang kepalanya. Setelah itu terdengar suara kaki yang melangkah terburu-buru.

"Maaf kak. Maaf nggak sengaja." Alex mengangkat kepalanya saat mendengar suara panik. Suara itu milik seorang gadis.

"Gila ya lo!" Alex berteriak kesal, kepalanya yang sejak tadi sudah pening semakin pusing.

"Kalau gue sampai geger otak lo mau tanggung jawab!" Alex melotot pada gadis itu.

"Ma-maaf kak." Gadis berambut panjang itu hampir menangis saat Alex bentak.

"Lo-" Alex tak sempat melanjutkan kata-katanya saat pandangannya tiba-tiba buram. Dia sudah berada di bawah sinar matahari cukup lama, ditambah lagi bola yang menghantam kepalanya cukup keras. Hal itu membuat Alex limbung dan hampir menyentuh tanah, beruntung gadis didepannya segera menahan tubuh Alex.

Tapi karena perbedaan tinggi badan, gadis itu tidak bisa menahan Alex terlalu lama. Keduanya akhirnya terjatuh bersamaan dengan tubuh Alex menimpa gadis tersebut.

"Aduh! Kak, kak bangun! Kok pingsan sih? Jangan-jangan beneran geger otak? Aduh gimana dong ini." Dilanda panik yang semakin menjadi, gadis itu pun mengerahkan seluruh tenaga yang dimilikinya untuk membawa Alex ke ruang kesehatan.

Saat Akex sadar, hanya ada dirinya di sana. Kepalanya pusing dan perutnya terasa perih. Karena kelaparan hidung Alex menjadi lebih sensitif, dia mencium bau yang enak. Ketika pemuda itu menoleh sebuah kotak bekal berwarna pink terletak di atas meja, lengkap dengan minuman dan secarik kertas.

Alex memakan tumis tahu dan sayuran itu sambil membaca kertas ditangannya, yang isinya adalah permintaan maaf dari gadis yang melepar bola ke kepalanya. Setiap mengingat hal itu Alex akan mendengus kesal. Pada jam pelajaran begitu orang bodoh mana yang malah bermain bola sepak. Ada, gadis itu buktinya. Tanpa sadar Alex terkekeh. Apalagi saat mengingat wajah panik gadis itu, wajahnya jadi merah seperti udang rebus.

"Lo nggak boleh dijemur lagi, bisa makin gila ntar." Ucap seseorang yang baru saja masuk ke ruang kesehatan. Alex menghentikan senyumannya, wajahnya datar seketika. Antonio berjalan mendekat sambil mengerutkan alis.

"Capek-capek gue beliin makanan, malah udah makan duluan. Dari siapa tuh?" Tanyanya saat melihat kotak bekal di pangkuan Alex.

"Kepo." Alex bicara dengan mulut penuh.

"Bocah gila." Gerutu Antonio, meletakan seplastik makanan ringan di meja dekat tempat tidur Alex.

"Ohya, tadi petugas jaga yang bilang lo ada di sini. Terus dia tadi cerita sedikit sama gue, katanya lo kesini digendong sama cewek. Malu-maluin amat pingsan digendong sama cewek." Antonio tertawa, mengejek. Tapi Alex sepertinya tidak peduli.

"Emang dasar cewek aneh." Ucap Alex menyelesaikan ritual mengisi perutnya, dia bahkan sempat bersendawa keras.

"Jorok lo."

"Nggak sejorok otak lo. Eh, anak kelas satu yang baru masuk emang belum ada belajaran ya?" Alex tahu karena setiap murid baru akan mengenakan seragam sementara berwarna hitam-putih saat hari pertama mereka, sembari menunggu seragam resmi mereka selesai dibuat.

"Otak gue sama lo itu satu frekuensi, inget. Kan kita dulu juga gitu, hari pertama masuk ya jam kosong. Cuma buat perkenalan aja karena udah nggak ada ospek." Ucapnya.

"Kenapa tanya, terus cewek itu siapa?"

"Nggak tahu." Alex mencari posisi nyaman di tempat tidur. Dia mulai memejamkan mata tidak peduli pada Antonio yang penasaran setengah mati.

Saat Alex memejamkan matanya, bayangan gadis itu muncul di otaknya. Tubuhnya tidak lebih tinggi dari pundak Alex. Rambutnya panjang hingga menyentuh pinggang, wajahnya kecil dengan bibir merah sedikit tebal dan kulit putihnya agak kemerahan seperti pipi bayi. Lalu matanya yang bulat terlihat sendu seperti akan menangis. Dia adalah gadis yang akan membuat setiap laki-laki yang melihatnya berebut ingin melindunginya. Jadi mungkin Alex harus sedikit, berusaha.

***

"Ngelamun lagi? Ati-ati ketempelan."

"Ih, nggak ngelamun. Jangan ngomong sembarangan gitu dong, Linda." Wajahnya merengut menatap teman sebangkunya. Gadis yang bernama Linda itu pun terkekeh.

"Ya abis, aku panggilin dari tadi nggak nyaut-nyaut. Kenapa sih, masih kepikiran kakak kelas yang kamu tendang pake bola?" Linda menopang dagu sambil memasang senyum jail.

"Lin, kalau dia nggak terima terus balas dendam sama aku gimana? Mukanya sih ganteng kayak Justin bieber, tapi galaknya kayak anjing beranak di deket rumah aku. Serem." Linda tertawa mendengar rentetan kalimatnya yang polos.

"Aduh Sandra, ada-ada aja sih kamu. Udah tenang aja nggak mungkin kayak gitu. Kamu kan udah minta maaf terus nolongin dia juga, kamu juga udah ngasih makan siang kamu buat dia. Kalau dia sampai nggak maafin kamu, kita ngadu ada sama Kakak aku biar dia nggak gangguin kamu. Kakak aku itu banyak ditakutin sama anak-anak sini, jadi kita aman." Ucap Linda membanggakan Kakaknya lagi.

Sebenarnya orang itu bukan kakak kandung Linda, dia hanya anak yang tinggal di sebelah rumah Linda. Karena sudah saling kenal sejak kecil Linda akhirnya menganggap orang itu seperti kakaknya sendiri.

"Kamu yakin?" Sandra masih saja ragu.

"Iya, yakin. Pokoknya kalau kamu ngerasa nggak aman, kamu harus langsung ngomong sama aku. Biar aku bilang sama dia buat nanganin orang itu." Itu terdengar seperti mereka akan menyewa tukang pukul untuk menagih hutang.

Tapi tidak masalah. Sekalipun Linda sungguhan menyewa tukang pukul, itu lebih baik daripada masa SMA Sandra harus dihabiskannya dengan menjadi samsak kakak kelas. Itu akan menjadi mimpi buruk yang sesungguhnya.

"Oke, aku akan bilang kamu kalau orang itu mulai ganggu aku." Sandra mengangguk patuh.

"Nah gitu dong. Kita ke kantin yuk, bekal kamu kan udah kamu kasih ke orang itu."

"Aku nggak laper kok Lin."

"Jangan gitu dong San, nanti perut kamu sakit lagi. Pokoknya harus ikut aku ke kantin." Meski Sandra berusaha meyakinkan Linda, tapi gadis berambut pendek itu tetap saja menarik tangannya. Alhasil yang bisa Sandra lakukan hanya pasrah mengikuti Linda.

Linda berasal dari keluarga kaya, ayahnya seorang notaris di perusahaan besar, sedangkan ibunya adalah pemilik katering makanan sehat tempat Ayah Sandra bekerja sebagai supir. Tapi hal tersebut tidak membuat Linda keberatan menjadi temannya. Sandra sendiri bisa bersekolah disini berkat bantuan orang tua Linda. Mana mungkin ayahnya sanggup membiayai Sandra di sekolah elit ini, Sandra juga bukan murid super pintar walau dia anak yang rajin.

Baik, cantik dan kaya. Bukankah Linda sangat sempurna,Sandra terkadang iri pada dia yang memiliki segalanya tanpa perlu bersusahpayah. Karena itu Sandra bertekad dia akan berusaha sebaik mungkin di sekolahini, agar dia punya sesuatu untuk dibanggakan. Sekaligus untuk menebus rasaterima kasihnya pada orang tua Linda.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang