5. Masih Banyak Yang Tersisa.

23 7 0
                                    

Alex membuka pintu apartemennya dengan kasar, dan menutupnya dengan demikian pula. Rahangnya yang terpahat sempurna tampak kaku menahan emosi, tangannya yang sejak tadi mengepal erat akhirnya menghantam dinding dengan kerasnya hingga buku jari Alex membiru. Tapi seolah tak cukup Alex terus menghantam dinding hingga perasaannya puas.

Saat Alex berhenti tangannya sudah berlumuran darah, tulang kelingking dan jari manisnya bergeser. Namun Alex seperti tak merasakan apa pun, dia hanya menatap kosong keluar jendela apartemennya yang menampilkan pemandangan langit senja. Alex sangat marah, tapi dia tidak tahu apa yang membuatnya sangat marah hingga membuatnya semakin marah. Bukankah itu sangat menyedihkan.

"Tolol." Umpatnya untuk dirinya sendiri.

Alex memejamkan matanya untuk menenangkan diri, dia mencoba membayangkan sentuhan dari tiap wanita yang hari ini datang padanya. Tapi saat Alex memejamkan mata justru bayangan Sandra yang menutup hidung seolah muak padanya muncul dengan tidak terduga, membuat Alex membuka mata dengan cepat. Lelaki itu lagi-lagi mengumpat untuk dirinya sendiri.

Tiba-tiba suara bel mengalihkan perhatian Alex. Tanpa mempedulikan tubuhnya yang setengah telanjang atau tangannya yang berdarah-darah, dia membuka pintu dengan wajah tanpa ekspresi.

"Hai bos, lagi ... lo kenapa anjir!?" seseorang di balik pintu itu membulatkan matanya saat melihat penampilan Alex.

Tora- orang itu, masuk ke apartemen Alex ketika lelaki itu membiarkan pintunya terbuka. Tora mengikuti Alex dari belakang, lelaki itu berjalan seperti robot hingga sampai di ruang tamu. Bahkan ketika Tora mengajaknya bicara Alex tak mengatakn apa-apa kecuali memandangnya kosong. Tora yang khawatir- sedikit takut juga, menghubungi Antonio untuk segera datang.

"Lo liat tuh, teman lo kesurupan." Ucap Tora menunjuk Alex dengan dramatis. Pria tiga puluh tahun berambut pirang itu memang selalu berlebihan dalam menghadapi segala sesuatu.

"Ambil air sama anduk kecil." Ucap Antonio sembari menggulung lengan kemejanya, dia baru saja pulang dari perjalanan bisnis ketika Tora menghubunginya. Selain itu Antonio juga mendengar berita dari kantor, orang-orang meributkan Alex yang tiba-tiba membuka baju di depan umum. Lalu sekarang kondisinya terlihat begitu menyedihkan dengan luka di tangan. Antonio tadi sempat melihat tembok berlumuran darah, itu pasti ulah Alex juga.

"Kita bawa ke rumah sakit aja?" Tora menatap tangan Alex yang sedang diobati Antonio dengan ngeri. Padahal lukanya separah itu tapi Alex tidak menunjukan ekspresi apa pun. Seakan dia memang sudah tidak memiliki rasa apa pun lagi. Tora mengenal Alex ketika mereka menempuh pendidikan di Universitas yang sama di Singapura, menjadi dua mahasiswa asing di negeri orang membuat keduanya menjadi dekat.

"Nggak perlu. Lo telfon Dokter Andri aja, suruh ke sini." Ujar Antonio. Dia tahu jika saat ini Alex tidak ingin orang lain melihat keadaannya yang sekarang. Jujur saja, keadaan Alex sekarang mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Dulu Alex juga terlihat sekacau ini.

Dokter pribadi Alex datang tak lama kemudian, dia memberikan resep obat dan membalut luka Alex. Sebenarnya Dokter Andri menyarankan membawa Alex ke rumah sakit untuk diperiksa secara intensif, tapi lelaki itu menolak secara tidak langsung. Dokter Andri yang usianya lebih tua lima belas tahun dari Alex itu pun hanya bisa menghela napas, pasien VIP-nya yang satu ini memang begitu keras kepala. Setelah memberi beberapa saran lain untuk Alex, Dokter Andri pun pamit undur diri. Sekarang di apartemen Alex suasana begitu hening, baik Antonio maupun Tora tidak berniat mengusik Alex sedikit pun.

Alex sudah mengenakan pakaian santai, lengkap. Dia meletakkan tubuhnya di sofa sambil menutup matanya menggunakan lengan kiri. Tiba-tiba setelah sekian lama hanya diam, Alex membuka mulutnya yang membuat Antonio terheran.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang