"Apa?"
Wajah cantik bulat Pravara terlihat sangat menawan kala sinar matahari jingga sore hari berseri di wajahnya. Bibir tipisnya terkatup mendengar apa yang telah dikatakan oleh suaminya, kepalanya memiring menatap Pandu. "Sebenarnya apa yang Mas inginkan? Bukankah sejak awal menikah, Mas bilang ada seseorang yang Mas cintai? Sekarang sudah ada kesempatan untuk keluar dari pernikahan ini, seharusnya Mas senang."
Pandu diam. Laki-laki itu mengambil cangkir kopi hitamnya dan menyesapnya sedikit, kemudian menempatkan kembali di samping ponsel. "Hal itu bukan sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk bercerai, Pravara. Pengadilan tidak menerima alasan bodoh seperti itu."
"Jika pengadilan tidak menerima alasan itu, lalu alasan seperti apa yang akan mereka terima?" Meskipun rasa takut terus menguasai hati Pravara, wanita itu harus mendapatkan persetujuan perceraian ini.
"Kamu tidak mengerti, Pravara." Laki-laki dewasa itu menghela napas. "Coba kamu pikirkan, bagaimana tanggapan orang tua kamu jika seandainya kita bercerai. Mereka pasti sangat sedih, pernikahan ini juga menjadi landasan bisnis kedua orang tua kita. Tidak bisa seenaknya begitu--"
"Seenaknya bagaimana?" Pravara menukikkan alisnya mendengar perkataan suaminya. "Bukan aku yang menggugat perceraian ini, tapi ibu Mas sendiri. Apalah aku hanya dijadikan landasan bisnis kalian? Aku bahkan tidak berhak untuk menolak saat kita dijodohkan, aku menerima semuanya tanpa protes."
Pandu kembali mengingat gadis polos yang dia nikahi dulu. Yang hanya memikirkan teman, main dan karir yang menggebu-gebu. Pandu tidak akan mengelak jika Pravara adalah wanita yang penurut dan patuh. "Saya tahu, maka dari itu pikirkan kembali tentang perceraian ini. Saya tidak bisa menyetujuinya begitu saja."
"Ini bukan tentang bisnis, Mas. Ini soal pernikahan. Pernikahan kita. Kamu masih belum faham?" tegas Pravara.
"Saya paham, sekali lagi ada beberapa yang harus dipertimbangkan Pravara."
Pravara tidak mengerti, dia menggigit bibirnya sendiri gemas. "Kalau ada banyak yang harus diperhatikan dan dipikirkan kembali, seharusnya ibu mas tidak langsung menodongku dengan perceraian. Beliau yang paling mengerti tentang pernikahan ini dari pada kamu, kan?"
"Pravara, mungkin ibu sedang banyak yang harus dipikirkan. Makanya beliau bertindak seperti itu." Pandu yakin, dia hanya ingin mencoba untuk menenangkan Pravara yang nyatanya malah keliru.
"Apa sekarang Mas mulai berpihak pada ibu?" Pravara tidak menyangka Pandu akan membela ibu mertuanya, memberikan dia alibi yang seolah-olah dia yang bertindak dan memulai kekacauan ini. "Beliau sendiri yang bilang untuk segera menandatangani surat cerai dan memberikannya pada Mas. Ibu bahkan telah membawa calon istri baru Mas ke sana."
"Tidak ada calon istri. Istri saya hanya kamu!" Pandu mengunci tatapannya pada Pravara, dia menatap lekat istrinya.
Pravara tergelak, wanita itu menggenggam taplak meja berwarna putih hingga kusut. "Ibu memaki dan merendahkan ku di hadapan wanita itu. Beliau terus membicarakan tentang aku yang tidak bisa memberikan kamu keturunan dan mengataiku mandul."
Sebelumnya Pandu telah mendengar aduan Pravara tentang ibu yang menyudutkannya dengan perkataan menyakitkan, tetapi saat dia melihat dengan teliti. Mata bening memesona itu tampak bergetar dengan dahi yang mengerut halus, seolah mengisyaratkan rasa sakit yang tidak sengaja dia dapatkan pada dirinya. "Pravara."
Istri dari Pandu Laksamana itu membuang wajahnya ke samping. Dia enggan melihat tatapan yang dilayangkan oleh suaminya, "Aku tahu, kalau Mas hanya menganggap aku sebagai teman serumah yang selalu menyiapkan dan memenuhi kebutuhan Mas dengan tepat waktu. Selama ini aku sudah sangat terbiasa dengan hal itu, tapi tidak dengan pandangan masyarakat. Mereka pasti akan melihat kita sebagai yang rukun dan bahagia. Kata rukun itu memang tepat, tapi tidak untuk bahagia."
Kata tidak bahagia itu membuat hati Pandu berdesir, laki-laki itu tercekat dengan ludahnya sendiri. Dia tidak tahu pernikahan bisnis akan se-menyedihkan ini, "Apa kamu benar-benar tidak bahagia selama 5 tahun ini, Pravara?"
Wanita itu balas menatap Pandu lebih dalam. Hati Pravara berdegup kencang saat ini, dia merasa telah mengatakan hal yang seharusnya tidak dia ucapkan. Tidak seharusnya dia menyinggung sesuatu yang akan melukai harga diri suaminya, ketika dia dengan lancang berkata tidak bahagia selama ini. Namun, dia juga tidak bisa berbohong jika hal itu adalah benar.
"Saya mengerti," ucap Pandu pada akhirnya. "Selama 4 tahun terakhir saya selalu membawa kamu makan malam di atas kapal pesiar, saya pikir kamu bosan makanya saya membawa kamu ke sini." Kopi miliknya dia habiskan dalam sekali teguk. Punggungnya tegak dengan wajah tampan yang bersinar karena cahaya matahari yang telah tenggelam.
Pandu menoleh ke kanan dan mengangkat telunjuknya ke arah matahari yang akan benar-benar tenggelam. "Lihat ke kanan, Pravara. Cukup indah dari sebelumnya, kan?" tanyanya dengan melirik Pravara yang terus menatap ke arah dirinya.
Pravara tersentak kecil dan langsung menoleh ke arah yang ditunjuk oleh sang suami. Ini tidak jauh berbeda saat mereka melihat dari atas kapal pesiar, tapi kali ini memang cukup berbeda karena tempat yang mereka datangi. Restoran di atas bukit ini cukup mewah dari luar hingga dalam, dan sekarang mereka menempati ruangan kecil dengan balkon yang cantik.
Penampakan sunset itu sangat memukau. Pandu kembali memusatkan perhatiannya pada Pravara yang sedang dimabuk keindahan dengan mulut yang terbuka kecil. "Seperti senja yang tenggelam hari ini dan akan kembali lagi esok hari dengan keindahan yang mungkin lebih dari hari ini."
Pravara melihat suaminya dengan bingung. "Apa?"
"Saya ingin memperbarui hubungan yang hambar dan tidak membuat kamu bahagia ini, menjadi hubungan sehangat sengatan matahari pagi dan tampak menyenangkan dipandang masyarakat selayaknya senja di ufuk timur." Pandu melayangkan pandangan serius tepat pada mata Pravara.
"Jangan memperbaiki hubungan, hanya karena omongan masyarakat."
Tiba-tiba suasana berganti menjadi redup dan perlahan rasa dingin menusuk kulit. "Aku lelah selama 5 tahun ini, ayo bercerai!"
"Tidak! Sampai kapan pun tidak!" Seperti yang lalu-lalu, ucapan dari Pandu tidak pernah bisa dibantah sama seperti kali ini.
Makanan penutup datang di antara ketegangan mereka berdua. Rasa manis dari susu puding yang dipanggang hingga meleleh menjadi caramel, tidak lantas merubah mood buruk Pravara.
Wanita itu masih mendiami Pandu hingga beberapa hari ke depan dan pada hari berikutnya dia didatangi oleh pembawa masalah yang sebenarnya. Nyatanya rasa kesal atas ke tidak tegasan Pandu membuat Pravara kesal dan enggan untuk bertegur sapa.
"Bagaimana, Pravara? Apakah kamu sudah bereskan semua barang-barang mu?" pertanyaan itu mampu membuat Pravara yang sedang bersantai di teras rumahnya spontan berdiri dengan wajah tegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Divorce [Hold On]
ChickLitSelama mereka menikah 5 tahun lamanya, Pravara Pranatha tidak pernah berkeinginan untuk mencintai suaminya, Pandu Laksamana. Pun dia pikir sebaliknya. Tapi entah kenapa ajuan cerai dari sang ibu mertua ditolak mentah-mentah oleh laki-laki Jawa itu...