Matanya membulat, wanita itu tidak berani mengangkat kepala dan melihat pada sang suami yang menatapnya penuh dorongan. "Mas, ini semua nggak mudah. Aku--"
"Kalau begitu, biarkan saya memulainya. Mengulang perjalanan pernikahan kita yang sudah sangat terlambat. Saya tahu, kamu tidak akan mudah percaya begitu saja, tapi saya mohon. Berikan saya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan saya."
Pravara, wanita itu merasa salah tingkah. Ujung hidungnya dia gosok kecil sembari berkata ragu, "Bagaimana kalau, aku menimbangnya dulu?"
Pandu menurunkan kedua tangannya dari lengan istrinya. Laki-laki itu menatap dalam diam Pravara yang masih tidak berani memandangnya, setelah dia mengatakan keinginannya tadi. "Baiklah."
"Ya?" Dengan keterkejutannya, Pravara mengangkat kepalanya. Apakah laki-laki ini benar-benar menyetujui apa yang dia usulkan tadi?
"Saya akan menunggu jawaban dari kamu, kapanpun akan saya tunggu."
Pandu bersungguh-sungguh. Dia tahu dalam rumah tangga mereka, sebagai seorang kepala keluarga dan juga seorang suami dia tidak bertindak dengan sebaiknya.
Karena itu, berapa lama dan bagaimanapun caranya, dia harus mendapatkan persetujuan untuk memulai pernikahan ini dari awal.
Mengulang semua kebodohan yang dia lakukan dan menembus rasa bersalahnya pada wanita muda di depannya ini. Dan semoga Pravara tidak terlalu lama memberikannya jawaban.
...
Pada pagi berikutnya, tetap sama. Mereka berdua duduk di meja makan, melahap masakan Pravara dalam diam. Menyisakan suara dentingan sendok dan piring yang saling bersahutan.
Suasana seperti ini sudah biasa bagi mereka sebenarnya, tapi tidak bagi Pravara. Wanita itu terfokus pada makanannya tanpa melirik sedikitpun pada suaminya yang terkadang curi pandang kepadanya.
Dia hanya merasa canggung. Pravara merasa semuanya berubah walau sebenarnya tidak ada yang berbeda dari mereka sebelumnya. Namun, karena perkataan Pandu saat di pantai tadi malam terus mengusiknya.
Bahkan, tadi malam dia tetap tidur di kamarnya sendiri dan Pandu pun begitu. Pagi ini, dia bangun lebih pagi dan menyelesaikan semua pekerjaan rumah dengan cepat. Pravara merasa tidak sanggup bersama dengan Pandu terlalu lama. Entahlah.
"Pravara, nanti siang kamu-"
"Aku ada meeting. Mungkin akan melewatkan jam makan siang, kenapa?" Pravara ingin sekali memukul mulutnya yang telah lancang memotong perkataan suaminya. Ini semua karena dia gugup, astaga. Sekarang dia jadi semakin tidak berani untuk sekedar melirik pada Pandu.
Pravara tahu, jika suaminya itu bahkan tidak menyukai yang namanya bantahan. Seumur pernikahannya, Pravara hampir tidak pernah melarang atau berbuat seenaknya, seperti yang dia lakukan tadi.
Laki-laki yang duduk di kursi paling depan itu mengatupkan mulutnya, saat mendengar apa yang dikatakan oleh Pravara. Tiba-tiba mood-nya hilang seketika.
Sendok dan garpu yang ada di kedua tangannya di letakkan di atas piring, mengambil tisu dan berucap, "Terimakasih atas makanannya, saya berangkat."
Kemudian, Pandu berdiri dan meninggalkan Pravara yang meringis dalam hati. Bodoh, bodoh, makinya dalam hati. Ketika dia mengangkat pandangannya, Pravara hanya bisa melihat punggung suaminya yang telah hilang ditikungan dapur menuju ruang tamu.
Wanita cantik itu juga mendengar suara pintu terbuka dan tertutup pelan. Padahal Pravara ikut menggigit jarinya menunggu gebrakan pada pintu saat Pandu pergi. Namun, ternyata dia tidak mendengar gebrakan apapun. Hal itu jelas membuatnya bingung. Apakah dia harus senang atau sedih, secara dia bahkan tidak tahu apa yang dirasakan oleh suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Divorce [Hold On]
ChickLitSelama mereka menikah 5 tahun lamanya, Pravara Pranatha tidak pernah berkeinginan untuk mencintai suaminya, Pandu Laksamana. Pun dia pikir sebaliknya. Tapi entah kenapa ajuan cerai dari sang ibu mertua ditolak mentah-mentah oleh laki-laki Jawa itu...