Happy Reading <3
Note: I recommend listening to classical melancholic music to feel the vibes more!
–––
Kamu melihat semuanya. Melihat darah yang membasahi tanah kotor penuh pasir bekas hancurnya bangunan, disertai dengan hawa mencekam yang tak kunjung hilang bahkan setelah pertarungan itu usai. Raja kutukan itu tersenyum dan mengucapkan kalimat yang sangat tidak bisa kamu terima. Begitupun keadaan lawannya, seseorang yang kebetulan adalah satu-satunya untukmu. Kekasihmu, pahlawanmu, penuntunmu, segalanya.
Kamu masih berusaha memproses apa yang terjadi. Mengatur emosi dan kesadaran. Tetapi satu hal menyakitimu sangat dalam, dan yang sama sekali tidak bisa dihalau adalah kenyataan bahwa kamu tidak akan pernah bisa melihat kembali wajah yang berseri-seri ketika maniknya menatap parasmu. Kamu tidak akan pernah lagi mendengar senda guraunya yang khas. Tidak akan ada lagi lelaki jangkung yang senang memelukmu dari belakang atau sekedar menggendongmu sembarangan dengan alasan klise “kamu gemas sekali, aku tidak bisa berhenti membungkus tubuh mungilmu”. Terlebih lagi, kamu jadi menyadari bahwa sosok yang sebetulnya baru menemanimu untuk waktu yang terbilang sangat singkat sudah pergi dahulu meninggalkanmu, tanpa pamit sepatah katapun. Kamu menyayangkan semuanya.
Ah, dadamu sesak. Entah perbuatan apa yang bisa menenangkanmu untuk sekarang. Walau demikian, kamu tahu tidak sepantasnya untuk histeris di tengah-tengah risuh-misuhnya keadaan. Sangat tidak diperlukan apabila emosimu meledak saat ini juga. Kamu memutuskan untuk keluar dari ruangan lalu berlari menuju kamar mandi. Di sana, kamu melihat pantulan wajah dirimu. Wajahmu memerah, gigi geraham atas dan bawah milikmu saling bergesekan, menimbulkan bunyi yang kurang enak didengar. Lututmu gemetaran sehingga memaksamu untuk bertumpu pada wastafel.
"Aku akan menang, tenang saja, [Name]!"
"Ah, manisku, tenang saja~ Kekasihmu ini adalah yang terkuat, kan?"
Persetan.
Napasmu mulai tidak teratur. Rasa sesak itu kian membuncah hingga di satu titik tidak tertahankan. Perasaan aneh yang campur aduk dan sama sekali tidak terdefinisi. Satu hal yang kamu tahu, rasanya sama sekali tidak membawa damai. Sangat berbanding terbalik ketika Satoru memelukmu dan menghangatkanmu lewat mantel miliknya yang teramat menenangkan.
Suatu urgensi timbul dari lambungmu, menyebabkan banyak cairan yang mendobrak ke atas. Kamu muntah, banyak sekali. Di satu sisi, rasanya lebih lega. Di sisi lain, keinginan untuk memuntahkan lebih banyak semakin terdorong. Walau begitu, kamu tahu tidak seorangpun yang sedang ingin masuk ke toilet mendapati pemandangan menjijikan seperti ini, sehingga kamu segera menyalakan keran untuk membersihkan semua muntahan tadi. Kamu lantas masuk ke salah satu toilet dan mengunci pintunya, lalu kembali berjongkok dan memuntahkan semuanya berkali-kali.
Sepertinya yang kamu muntahkan bukan lagi soal masalah badaniah, tetapi setiap emosi meluap yang sedari tadi berusaha untuk kamu tahan. Setelah beberapa saat, kamu merasa lebih tenang. Saat itu pula kamu mengingat ucapannya.
"[Name], aku tahu kamu sangat mendambakan badan ideal, tapi tidak perlu lewat memuntahkan kembali makanan ini!"
"Manisku, aku mendapatimu melakukan itu lagi. Hentikan ya, pelan-pelan?"
"Tidak sehat."
"Aku sangat suka badanmu yang sekarang, gemas."
"Aku suka pipimu yang tidak terlalu tirus. Aku suka semuuuuanya, tahu."
Sial.
Kamu malah semakin menjadi-jadi, kini mulai menangis. Bukan teriakan tetapi menangis secara diam. Sesak sekali rasanya. Bagimu, ini bukan soal seseorang yang sekedar putus cinta. Satoru bukanlah sekedar kekasihmu...
...Dia duniamu.
–––
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗟𝗮𝗰𝘂𝗻𝗮 | Satoru Gojo
ФанфикTidak seorangpun termasuk kamu rela sosok sepertinya pergi secara sia-sia. Satu hal yang kamu sadari, manuskrip hidupmu tidak akan pernah sempurna tanpa dirinya... Tanpa Satoru. Lacuna: tempat kosong; sesuatu yang hilang Female Reader x Satoru Gojo...