6. AMBER KECELAKAAN

299 23 0
                                    

Jalan raya sore hari begitu padat hingga roda sepeda motor gede Biru terpaksa harus bergulir lambat. Biru baru sampai di rumahnya setelah satu jam berlalu. Semoga ibu dan ayahnya sudah pulang dan memberikan kejutan surprise ulang tahun untuknya. Mereka berdua selalu terlupa memberikan selamat beralasan sibuk bekerja. Surprise yang harusnya diberikan saat pukul tengah malam menjelang hari ulang tahun atau tepat pada hari ulang tahunnya, biasa mereka ucapkan di lain hari.

Sesampainya di rumah, temaram nyala kuning lampu-lampu kecil dan tiga buah candle menyala menyambut Biru saat Biru membuka pintu dan memijaki lantai rumah. Biru sempat tersenyum karena Biru berpikir ayah dan ibunya sudah di rumah dan tidak lupa akan hari ulang tahunnya lagi. Ada cake ulang tahun dengan ukuran besar berikut kado dan kertas berisi coretan di atas meja.

Happy birthday Dear..

Nggak usah nungguin Mama sama Papa. Mama sama Papa ada panggilan mendadak dari rumah sakit.

Tolong kamu mengerti ya..

Mama dan Papa janji setelah urusan selesai akan ambil cuti bareng biar kita bisa ngajakin kamu liburan bareng-bareng.

Biru kemudian duduk termenung di depan cake ulang tahunnya. Setelah meniup candle dengan begitu kesal, ia memotong-motong cake nya sendiri dan memakannya sendiri. Ia juga meraih kado yang ditinggalkan orangtuanya di atas meja dan membuangnya asal di tempat sampah.

Biru sadar tindakan yang dilakukannya salah, tapi tak punya niat sama sekali untuk mengambil kado itu lagi, meraih kontak motornya lagi atas meja dan keluar dari rumah. Entahlah kemana tujuan Biru kali ini. Setelah lama berputar-putar tanpa arah tujuan, Biru memutuskan untuk kembali ke rumah Cyan. Biarlah dibilang tak punya muka. Sepertinya, melihat wajah manis dan ceria Cyan akan bisa mengembalikan moodnya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, sesampainya, Biru melihat Cyan yang tengah duduk seorang diri di teras rumahnya dengan celana pendek coklat sebatas lutut dan t-shirt oblong berwarna putih. Saat Biru menyadari kedatangannya yang tak sengaja dilihat oleh Cyan, Biru buru-buru berbalik hendak melajukan motornya lagi.

"KAK BIRU!!"

"KAK!!"

Suara teriakan Cyan membuat Biru terpaksa berhenti dan menoleh canggung ke arah dirinya. Cyan berlari kecil menghampiri Biru dengan wajah pucat dan lesu.

"Lo manggil gue?"

"Iya. Gue mau minta tolong," ucap Cyan bergetar dengan sepasang bola mata berkaca-kaca.

"Minta tolong apa?"

"Abang--" ujarnya tiba-tiba berhenti seolah tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Napas Cyan terputus-putus dengan bibir bergetar dan suhu tubuh yang terasa dingin saat Biru memberanikan diri untuk menyentuh tangannya.

"Tenang... Tarik napas dalam..." nasihat Biru. Sudut mata Cyan sudah berlinang airmata hingga membuat Biru tak sadar menghapusnya menggunakan ujung jarinya yang besar.

"Abang? Kenapa Abang?" tanyanya mengulang kalimat Cyan yang belum sempat Cyan selesaikan.

Berat deru napas Cyan masih terdengar begitu jelas dengan sorot mata penuh keputus asaan.

"Abang kecelakaan Kak. Dia pergi ke apotik buat beli suntikan buat gue karena suntikan gue hilang. Habis itu nggak balik-balik. Terus gue dapat telpon dari rumah sakit buat nyusul Abang disana, tapi gue nggak ada kendaraan buat kesana. Lo bisa ngantar gue, 'kan?"

Biru syok mendengarnya. Kecelakaan? Cobaan apa lagi yang akan menimpa Cyan? Semoga Amber baik-baik saja.

"Ya, udah. Yok, naik."

Cyan bersiap menaiki jog bagian belakang sepeda motor Biru. Pada saat yang sama, Biru melepas jaketnya dan diulurkannya ke Cyan.

"Pakai jaket gue. Kalau lo sakit, siapa yang bakal ngurus lo kalau Amber juga masih sama-sama sakit," katanya menasehati Cyan. Cyan mengangguk patuh dan segera memakainya. Aroma maskulin parfum yang menempel di jaket Biru dan sudah semenjak dulu disukai oleh Cyan saat Cyan selalu mengintipnya di balik di dinding tua, terasa begitu  menenangkan hati dan membuat Cyan merasa seketika aman saat bersamanya.

"Ada alamat rumah sakitnya, 'kan?" Biru bertanya.

Cyan mengangguk, lalu mengulurkan secarik kertas hasil dia menulis sendiri alamat rumah sakit yang beberapa jam yang lalu sempat menghubunginya. Biru diam tergugu saat membacanya, ini 'kan alamat rumah sakit tempat kedua orang tuanya bekerja.

Biru lekas meraih helm bogo retro cadangan yang biasa digantungkannya di atas tanki sepeda motornya, lalu membantu Cyan untuk memakainya. Diam-diam, dalam hati Biru memuji, Cyan manis sekali memakai helm bogo seperti ini. Padahal, tidak semua orang bisa terlihat tampan ataupun manis saat memakainya.

Setelah memastikan helm terpakai sempurna, Biru menarik kedua tangan Cyan ke arah depan untuk dilingkarkan ke pinggangnya mengingat semenjak tadi Cyan terus saja menggigil. Padahal jelas-jelas sudah memakai jaket. Wajah Cyan juga terlihat pucat, bahkan lebih pucat dari tadi sore saat Biru mengintipnya yang sedang mengobrol empat mata dengan Amber.

Sangat begitu wajar jika Amber selalu bersikap protektif dan posesif terhadap Cyan. Cyan yang seperti ini benar-benar terlihat begitu rapuh seperti gelas kaca yang begitu tipis.

"Jangan sedih. Gue yakin Amber baik-baik saja kok. Pegang pinggang gue yang kenceng, ya?" katanya sambil menepuk-nepuk punggung tangan dingin Cyan.

Cyan mengangguk.

Biru menghirup napas panjang dan menghembuskannya perlahan setelah menyalakan mesin motornya dan melajukannya kembali. Roda sepeda motor gedenya mulai bergulir membelah jalan menuju ke alamat rumah sakit dimana Amber mendapatkan penanganan. Meski Biru sempat meyakinkan Cyan bahwa Amber akan baik-baik saja, Biru tak yakin bahwa Amber baik-baik saja. Semua dilakukannya hanya untuk menghibur Cyan. Ibu dan ayahnya yang keduanya adalah dokter selalu mendapat panggilan mendadak jika terjadi sesuatu yang genting di rumah sakit. Seperti kecelakaan parah yang mengharuskan diadakan tindakan operasi mendadak. Semua terlalu rumit bagi Biru. Bak sebuah firasat, mungkin, ini yang dimaksud Magenta sebelum kematiannya agar Biru menjaga Cyan karena Amber tidak akan bisa selamanya menjaganya.

Bagai setangkai mawar layu yang tak pernah tersentuh air hujan, tiba-tiba saja segar kembali karena segarnya tetes embun di pagi hari. Biru telah mendapatkan jawaban atas kebimbangannya selama ini. Ini adalah surprise ulang tahun yang sebenarnya karena Biru telah yakin untuk menjadikan Cyan tambatan hatinya.

Biru tak ragu lagi untuk mencintai Cyan yang notabenenya adalah sama-sama lelaki seperti Biru. Biru akan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Bukan untuk Magenta, tapi karena Biru benar-benar ingin menjaganya. Namun, rasanya kurang tepat jika Biru menyatakan perasaan cintanya sekarang di saat anggota keluarga Cyan sedang mengalami musibah.

"Cyan..."

"Ya.."

"Kamu yang kuat ya? Ada aku buat kamu."

Meski terdengar sedikit mengganjal, Cyan memilih untuk tersenyum. Semenjak kapan Biru mulai berbicara dengannya menggunakan kalimat aku-kamu, sopan sekali, Cyan jadi merasa seperti orang yang spesial di mata Biru.

Tanpa banyak bertanya, Cyan pada akhirnya mengangguk saja.

"Ya."

[]

Tbc

SKY SERENADE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang