Sore hari itu pukul tiga.
Sang penguasa siang yang gagah bersembunyi di balik tumpukan mega-mega.
Biru tahu ada ribuan tetes air beku yang kapan saja bisa tumpah dari atas sana. Biru juga tahu mungkin akan ada guruh dan kilat petir yang membelah cakrawala.
Angin mungkin juga akan menjelma menjadi badai. Menerbangkan dedaunan gugur atau mungkin akan mematahkan ranting pepohonan.
Biru akan tetap disini entah sampai kapan nanti. Mungkin sampai sang penguasa siang tertidur pulas hingga kembali datang lagi di pagi hari nanti.
Atau sampai jutaan bintang-bintang membuat gugusan indah dalam galaxy bima sakti.Hanya untaian bunga sederhana di tangan Biru ini yang menemani Biru sejak beberapa jam yang lalu, untaian bunga-bunga ungu sebagai penghantar rindu.
Semoga langit kelabu mengerti tanpa Biru harus memberi tahu.
Biru masih di sini.
Berbalut udara sepi tanpa pelukan hangat matahari. Duduk seorang diri di bangku panjang tanpa kemuning senja sore hari, di taman sederhana tempat satu tahun lalu Biru dan seseorang yang dicintainya mengucapkan janji suci.
Dia--tidak akan datang.
Biru tahu dia memang tidak akan pernah datang, tapi Biru suka melakukan hal konyol ini. Separuh jiwa Biru yang seolah telah mati bagai hidup lagi seperti disulut dengan nyala api.
Biarlah orang menganggap Biru gila. Atau menatap Biru aneh sesuka hati mereka.
Ini hidup Biru!! Bukan hidup mereka.
Mereka hanya gemar menghakimi Biru tanpa mau tahu jerit hatinya yang sebenarnya.
Suara ranting kering terinjak menyapa gendang telinga Biru dari balik dinding tua.
Dinding itu retak di beberapa bagian, tertutup lumut dengan warna cat yang hampir memudar.
Biru memutar kepalanya sekian derajat ke arah sumber suara itu, berdiri setengah ragu, melempar seribu tatapan penuh tanya.
Pahatan lekuk wajah indah yang sejak tadi mengintip malu-malu, tenggelam lagi di balik dinding tua itu.
Manis...
Biru suka..
Diam-diam Biru pernah memujinya. Remaja itu tak hanya manis tapi juga memiliki paras yang sempurna.
Dia bukan seorang gadis jelita dengan rambut panjang terurai dan hiasan pita rambut di kepala seperti mantan kekasih Biru, tetapi seorang laki-laki sama seperti Biru.
Biru sudah tahu sekian lama dengan kebiasaannya, mungkin semenjak Biru masih duduk di bangku kelas X SMA dua tahun lalu, tetapi memilih tidak peduli karena Biru tak pernah mengenalnya.
Dulu, remaja laki-laki itu masih kecil dengan balutan seragam sekolah SMP berwarna putih biru. Sekarang, ia mengenakan seragam sekolah yang sama seperti miliknya.
Entah apa maunya. Biru tak pernah merasa risih atau marah atas kehadirannya.
Mendung berkabung, gumpalan pekat menghitam tampak berarak terseret angin di atas cakrawala yang membentang. Petir menyambar disusul hujan deras setelahnya. Biru melangkah sedikit lebih cepat menuju ke arah sepeda motornya.
Jaket kulit hitam andalannya sudah terpercik oleh bulir-bulir air. Biru tidak mempedulikannya, lalu menyalakan mesin motornya sebelum berniat untuk melaju.
Setidaknya, Biru merasa bersyukur karena untaian bunganya baik-baik saja. Biru berniat akan mengantar ke makam kekasihnya setelah hujan reda nanti.
Ah, Biru jadi teringat remaja laki-laki tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKY SERENADE [END]
Roman d'amourBuana Angkasa Biru tiba-tiba mendapat pernyataan cinta dari Cyan Galaxa, seorang remaja yang usianya dua tahun lebih muda darinya. Masalahnya tidak sesimple tinggal menjawab iya atau tidak, tapi lebih rumit dari itu. [LENGKAP] Warning!! BL Homo Gay ...