T i g a

276 34 0
                                    

Jangan lupa vote sama komen, ya! 🌹

*Selamat membaca*
💮

“Kudengar dari anak-anak, katanya kau sedang sakit. Bagaimana kondisimu sekarang?”

Davinka, yang sedang mengoleskan krim malam di wajahnya, melirik bayangan Prama yang tengah duduk di ranjang miliknya dari depan cermin rias.

“Aku baik-baik saja. Mereka hanya terlalu khawatir,” jawab Davinka tenang, tak menyebutkan apa pun pada Prama tentang kejadian siang tadi.

Prama hanya mengangguk, tampak mengerti. Ia melanjutkan membaca majalah, mengabaikan tatapan Davinka.

“Tadi siang Jane dan temannya datang ke kantor. Sepertinya mereka mengantar sampel produk baru kalian. Bagaimana? Sudah ada keputusan?”

“Bukankah itu yang seharusnya kutanyakan padamu?” Prama merespons cepat tanpa menatap, masih fokus pada majalahnya.

“Kau itu sekretaris CEO Gema. Bukankah semua rencana orang itu harus kau ketahui lebih dulu?” ujar Prama, terdengar seperti menyindir, membuat Davinka mengernyit dan mau tak mau menoleh.

“Aku hanya sekretarisnya. Bukan berarti aku harus tahu semua pikirannya. Aku bukan ibunya!”

“Tapi kau dekat dengannya,” sahut Prama cepat, kali ini menatap Davinka. “Apa aku salah?”

Merasa kesal dengan pandangan dingin Prama, Davinka mendengus sebal. Ia merapikan meja riasnya dengan sedikit kasar lalu berjalan ke arah ranjang di sisi kiri.

Sejak pembicaraan mereka tentang perceraian waktu itu, mereka sepakat menggunakan dua ranjang terpisah. Ranjang baru itu harus sudah ada di kamar mereka saat kedua anak berada di sekolah.

Untungnya, kedua anak belum mengetahui hal ini meskipun sudah hampir setahun berlalu. Azka dan Raina hampir tak pernah masuk ke kamar mereka; mereka biasanya hanya memanggil dari depan ruang TV di depan kamar.

Melihat Davinka yang tidur membelakanginya, Prama menggelengkan kepala. Wanita itu memang tegas, namun sering kali ia menunjukkan sisi manja yang jarang terlihat di luar kamar. Mungkin inilah sifat alami wanita saat sedang sendirian.

“Ah, apa? Memangnya aku bukan manusia, sampai dia merasa sendirian?”

Merasa agak dongkol dengan pikirannya sendiri, Prama melirik Davinka dengan sengit, layaknya seekor singa yang bertemu musuh bebuyutannya.

Dering ponsel Prama di atas nakas mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh, dan langsung mengubah ekspresi saat melihat nama Jane di layar.

Melirik sebentar pada Davinka yang masih dalam posisi sama, Prama akhirnya turun dari ranjang dan berjalan ke balkon untuk menjawab panggilan.

“Halo,” sahut Prama begitu pintu balkon tertutup.

Bukannya menerima balasan, Prama justru terkejut mendengar suara tangisan Jane di ujung telepon.

“Jane? Ada apa? Kau menangis?” tanya Prama, mulai panik, mengira sesuatu yang buruk terjadi.

“Sekeras apa pun aku mencoba, aku tetap tak bisa melupakanmu. Aku tak bisa melupakanmu, Prama,”

Prama menjauhkan ponselnya dari telinga, memandangi nama Jane di layar sekali lagi. Benarkah ini Jane?

“Kau sedang mabuk?” tanya Prama, menyadari cara bicara Jane terdengar tak jelas.

“Jangan paksa aku mencari orang lain. Hanya kau yang bisa mengisi hatiku, Prama. Aku lumpuh tanpamu.”

Kini Jane terdengar meracau.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Maybe Later (Tersedia di Playstore --> PlayBook!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang