D u a

368 41 1
                                    

Menjadi seorang sekretaris dari pengusaha yang perfeksionis seperti Revan, membuat Davinka dituntut untuk bekerja dengan keras. Terlebih selain ingin melihat segala sesuatunya itu berjalan dengan sempurna, Revan juga memiliki sifat ambisius yang cukup besar. Tidak heran, jika banyak perusahaan lain yang menganggap mereka saingan itu memandang Revan seperti seorang monster di dunia bisnis. Selain mudah mengalahkan musuh, dia juga tentu ditakuti dan disegani dalam urusan mengambil keputusan.

“Kudengar orang dari Groove akan datang untuk mengantarkan sampel mereka nanti siang. Apa kau sudah mendengar kabar itu?”

Revan berbicara pada Davinka yang tengah mengetikkan sesuatu di komputernya, sambil membolak balikkan berkas yang ada di tangannya.

“Sudah, Pak.”

“Bukankah itu perusahaan milik suamimu?”

Davinka yang masih mengetik, berhenti sejenak melirik Revan yang masih fokus dengan kegiatannya.

“Saya dengar Pak Hendro setuju menerima sampel dari perusahaan mereka, sebagai pembanding dengan beberapa sampel yang kita terima dari perusahaan lain sejenisnya,” jelas Davinka dengan nada suara datar, sejenak membuat Revan menaikkan sebelah alisnya.

“Pak Hendro berubah pikiran?” pikir Revan, mengutarakan kebingungannya. “Tidak biasanya.”

Davinka hanya diam mendengar ucapan itu. Sebagai orang yang cukup mengenal Revan dengan baik, dia tahu kalau atasannya itu pasti tengah mencurigai sesuatu di balik kalimat sebelumnya. Namun, alih-alih menggiring opini, Davinka lebih memilih fokus untuk menyelesaikan satu surat yang Revan minta sebelumnya.

Tidak berapa lama, suara mesin pencetak di samping komputer Davinka, menarik perhatian Revan. Kerutan yang tadi terlihat samar di dahinya, mengendur seketika dengan kertas yang Davinka sodorkan ke arahnya.

“Ini, Pak, suratnya. Silakan dibaca dulu.”

Davinka kemudian berdiri membereskan barang-barangnya dari atas meja, sembari membiarkan Revan membaca isi pesan yang tadi dia minta pada Davinka.

“Baiklah, ini sudah pas.”

Setelah berkomentar begitu, Revan segera mengambil pena cair nan tebal miliknya yang selalu disimpan di dalam saku jas kerjanya. Membubuhi surat tersebut dengan tanda tangannya yang berharga, kemudian memberikannya kembali kepada Davinka.

Tadi, wanita itu sudah minta izin pada Revan untuk pergi menjemput kedua anak Davinka di jam makan siang. Dan seperti biasa, meskipun keras dan tegas, Revan yang memang menaruh peduli terhadap perempuan itu, mengizinkan Davinka untuk pergi.

“Mau saya antarkan surat itu ke HRD? Saya bisa memberikannya sembari turun ke lantai satu,” tawar Davinka mengadakan tangannya, pada Revan yang hanya diam memandang tangan tersebut.

“Tidak usah. Biar ini menjadi tugas Jacob nanti,” tolak Revan melipat kertas itu, lalu memasukkannya ke dalam amplop.

“Baiklah, Pak,” sahut Davinka tersenyum sopan, lantas menurunkan tangannya kembali.

“Kalau begitu, saya permisi,”

Baru saja Davinka akan melangkah, tiba-tiba tubuh wanita itu limbung dan menabrak meja kerjanya sendiri yang ada di antara dirinya dan juga Revan.

“Dav! Kau tidak apa-apa?” tanya Revan cemas, ketika melihat Davinka menyentuh perutnya sendiri dengan wajah yang berubah pucat.

“Dav!” panggil Revan lagi, sekarang melihat Davinka yang meringis seperti menahan sakit.

“Saya tidak apa-apa, Pak. Terima kasih, tidak perlu cemas,” kata Davinka meringis, mendorong tangan Revan yang tanpa sadar menyentuh lengan Davinka.

Maybe Later (Tersedia di Playstore --> PlayBook!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang