Faldhita #23

904 98 9
                                    

"Peri kecil ...,"

Maria, yang tengah menyalin catatan di bangkunya, menoleh demi sebuah suara, yang jelas memanggilnya. Sebuah senyuman terurai, walau tak terlalu lebar. "Ya, kenapa, Gio?"

Gio menarik sebuah kursi agar dapat duduk di hadapan Maria. Menatap wajah manis nan imut di hadapannya. "Nanti gue pinjam catatan lo, ya. Gue tadi enggak sempat nyatat soalnya."

"Kalau kuliah itu sekalian bawa niat untuk belajar. Jangan asyik bergosip di belakang kelas."

Sebuah suara menginterupsi balasan Maria, membuat gadis berkepang dua itu menoleh. Fal berdiri tepat di sebelahnya seraya menatap dingin Gio.

Gio terdiam sejenak. Ikut menatap Fal. Pemuda itu tersenyum. "Ternyata diam-diam lo memperhatikan sekitar juga, ya. Gue pikir lo secuek itu dengan sekitaran." Gio mengulurkan tangan kanannya. "Kita belum pernah kenalan secara resmi. Gue Gio."

Fal menatap sekilas tangan kanan Gio dan mendengus. Menoleh ke Maria, tanpa memperdulikan uluran tangan Gio. "Sudah selesai mencatatnya?"

Gio tersenyum dan menarik kembali tangannya. Menatap ke arah Fal. "Oke. Mungkin bukan waktunya kita berkenalan."

Fal menoleh kembali ke arah Gio. "Masih ada kepentingan? Jika sudah tidak ada, lebih baik anda pergi."

Maria tercenung mendengar kalimat Fal. Tangan kirinya terulur untuk menyentuh lengan kanan Fal. "Fal, enggak boleh ngomong gitu. Kok Gio diusir sih?"

Gio tetap mengurai senyumnya. Mengangguk kecil. "Oke. Kalau begitu, gue duluan, ya." Pemuda itu pun segera berlalu dari hadapan Fal dan Maria.

Fal menoleh ke arah Maria. "Jangan terlalu gampang percaya dengan orang lain. Terutama dengan lelaki, Aryani Maria." Ditatapnya Maria dengan tatapan tajam.

Maria meneguk ludah. Tatapan Fal seolah menghunus tepat di sepasang matanya. "Tapi Gio baik."

Fal mendengus. "Semua orang juga awalnya baik tapi dia bisa berubah setelah topengnya luruh, Peri Kecil." Tatapan tajam itu berubah dingin. Kilasan ingatan masa lalu menyapa. Sesak kembali menyerang pernapasannya.

Maria mengerutkan dahi. "Semua orang? Termasuk Fal?"

Fal mengangguk tanpa ragu. "Ya. Saya bisa berubah menjadi sosok yang jauh berbeda jika ada yang berani menyakiti orang-orang yang saya sayangi."

Maria menahan napasnya. Kalimat barusan begitu serius diucapkan oleh seorang Faldhita. Entah kenapa, sedikit rasa gentar menghinggapi hatinya. "Oke. Eng ... Fal bisa berhenti lihatin aku? Kita pulang sekarang, ya."

Fal mengangguk kecil dan melepas tatapannya dari Maria. Tangan kanannya terulur seraya tersenyum di balik maskernya. Namun cukup kentara dari tarikan di sudut kedua matanya.

Maria menatap uluran tangan itu dan meraihnya. Menyatukan jari jemari mereka. Gampang banget berubah, ya. Baru beberapa detik ngomong serius, sekarang sudah senyum saja. Sayang banget, senyumnya ditutupi oleh masker.

...

"Eng ... Fal, kenapa Fal kayak enggak suka dengan Gio?"

Fal menoleh dan menatap Maria dari balik bukunya. "Kenapa? Ada masalah? Bukannya saya sudah menjelaskan kenapa saya bersikap seperti pada dia!?"

Maria menggeleng. Bibirnya sedikit mengerucut. Jujur saja, dirinya kurang menyukai jika Fal sudah berbicara dengan nada formal seperti tadi. "Fal kenapa sih? Ngomongnya pakai saya saya gitu? Berasa lagi ngomong sama dosen tahu enggak!? Perasaan pertanyaan aku wajar deh, tapi kenapa Fal kayak marah gitu."

Fal masih menatap Maria. Diam. Menghela napas. "Iya juga, ya. Kenapa juga gue harus marah. Yang cowok itu dekati kan, lo bukan gue. Enggak ada urusannya dengan gue, kan!?" ucap Fal dengan nada suara datar sebelum menunduk untuk kembali membaca.

Maria menghela napas. "Sudahlah. Aku enggak akan tanya apa-apa lagi ke Fal. Takut salah ngomong lagi aku." Maria mengalihkan pandangan ke arah buku dalam genggamannya.

Hening menguasai toko barang antik milik Maria. Keduanya sibuk dengan buku masing-masing. Sesekali keduanya tampak menghela napas.

...

Fal menatap langit malam, yang cukup cerah. Tak sedikit bintang menampakkan diri. Setelah puas menatap langit, Fal menolehkan wajahnya ke arah samping. "Lo ngapain ke sini, Bey? Ngapelin gue?"

Abey, yang tengah menikmati sepiring nasi goreng buatan Ibu dari sahabatnya itu, menggelengkan kepala. "Ngapain juga gue ngapelin lo. Gue enggak jomblo, ya."

Fal berdecih kesal. "Ya terus ngapain lo ke sini? Enggak takut dihantam sama Nyonya Abey? Berani-beraninya lo malam Minggu malah nongkrongin rumah gue."

Abey menyamankan duduknya. "Gue lagi enggak boleh ngapelin dia. Soalnya Nana lagi di tempatnya Vido." Abey menaruh piring kosong di atas meja. "Lo sendiri ngapain di rumah? Bukannya ngapelin pacar lo."

Fal mengerutkan dahi. "Pacar? Gue enggak punya pacar."

Abey mencibir. "Terus makhluk mungil berkacamata nan manis, yang selalu nempelin lo itu siapa? Tuyul peliharaan lo?"

Fal menggeleng. "Dia teman gue."

Abey mencibir. "Teman kok posesifnya kayak pacar sih, Neng!? Mana ada teman yang segitu sewotnya kalau lihat temannya punya teman baru. Teman mana yang sewot kalau ditanya soal dia kenapa enggak suka sama Gio!?"

Fal mengerutkan dahi. "Kok lo tahu?"

Abey tersenyum. "Maria tadi telepon gue. Dia cerita kejadian di kampus tadi. Lo kenapa sih? Gue kadang bingung sama lo, Fal."

"Bingung kenapa sih? Perasaan gue masih wajar saja deh bersikap ke Maria. Salah ya, kalau gue memperingatkan dia untuk hati-hati dengan orang lain? Terutama cowok."

Abey tersenyum lagi. "Gue tahu lo trauma dengan cowok, Fal. Tapi bukan berarti lo harus berbagi ketakutan lo itu ke Maria. Dia bebas berteman dengan siapa saja, Fal. Dia sudah cukup dewasa untuk menilai orang lain baik atau tidak untuknya."

Fal menghela napas. Kembali menatap langit. "Tapi gue agak keberatan kalau dia dekat dengan orang lain, terutama cowok. Gue rasa alasannya bukan sekadar karena gue takut dia kenapa-kenapa, bukan sekadar gue mau berbagi trauma gue. Selama ini gue mana peduli sih dengan orang lain, Bey."

"Terus?"

Fal menggelengkan kepala. "Gue sendiri bingung harus jelasinnya gimana. Intinya gue enggak suka kalau dia dekat orang lain melebihi kedekatan gue dan dia."

"Lo cemburu?"

Fal mengangkat sekilas kedua bahunya. "Gue enggak tahu dan enggak yakin. Gue juga bingung mau kasih sebutan apa untuk ketidak sukaan gue ini."

Abey menepuk pelan bahu Fal. "Apapun itu, gue senang dengar lo sudah mulai percaya orang lain selain gue dan Vido."

Fal menoleh ke arah Abey. "Bagaimana kalau suatu saat Maria membuat gue kecewa, Bey? Gue takut, semua ini sementara."

Abey tersenyum seraya mengangkat tangan kanannya untuk mengusap lembut penuh kasih surai legam milik Fal. "Lo harus paham, yang datang pasti akan pergi. Tapi, lo harus ingat, lo selalu punya gue, yang selalu berusaha ada untuk lo. Bahkan kalau gue harus meninggalkan Vido demi lo, gue pasti rela melakukannya, Falditha Raditya."

Kedua netra Fal berkaca-kaca. Dianggukkannya kepala. "Bangsat lo. Bisa-bisanya malam Minggu gue jadi galau cuma gara-gara kata-kata lo. Pulang sana lo!!!"

Abey tertawa. "Yakin mau ngusir gue? Padahal gue ke sini mau ngajak lo kuliner malam, tapi, berhubung gue diusir, gue urungkan niat gue deh."

Fal melebarkan kedua matanya. "Enggak bisa. Enak saja. Kalau sudah niat tuh sekalian dilakukan ya, Ardan Benyamin."

Abey mengangguk. "Ya sudah. Lo siap-siap sana. Gue tunggu di sini."

Fal mengangguk dan beranjak masuk ke dalam rumah.

Abey menghela napas. "Semoga semuanya tidak mengecewakan dan berjalan sesuai ekspektasi gue."

...

Faldhita (GxG Story) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang