୧ ׅ𖥔 ۫ 𝗥𝗮𝗶𝗻

1K 122 18
                                    

Atmosfer serasa sesak bagaikan mencekik leher, detakan jantung yang berdetak tak karuan, dengan sang guntur yang bergetar mengguncang langit bersamaan halilintar yang menyambar tiada henti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Atmosfer serasa sesak bagaikan mencekik leher, detakan jantung yang berdetak tak karuan, dengan sang guntur yang bergetar mengguncang langit bersamaan halilintar yang menyambar tiada henti. Aku percaya jika masalah itu bagaikan hujan, mereka akan datang dan mereka akan pergi, lalu bianglala yang akan menemani perjalanan kita selanjutnya.

Tapi terkadang aku berpikir, apakah itu sepadan dengan semua yang dilalui selama ini?

Atau tiba-tiba terlintas, kira-kira... Sampai kapan langkahku akan tetap berpijak pada tanah kedepannya?

Apakah kedua manik kembar ini masih bisa melihat bianglala seindah itu nanti?

Bagaimana kalau sebenarnya aku tidak dapat bertemu dengan bianglala itu? Dan terus berlari di dalam ruangan hampa tanpa akhir ini?

______________________________________

𝗣𝗘𝗟𝗔𝗥𝗜𝗔𝗡 𝗧𝗔𝗡𝗣𝗔 𝗔𝗞𝗛𝗜𝗥.

"Gimana hasil ujiannya?"

Sepasang mata memandang lurus bersinggungan dengan sepasang manik kembarnya sudah menjelaskan segalanya.

Suara nya terasa tercekat, langkahnya kaku, hatinya dipenuhi kelabu, semua bercampur aduk menjadi satu. Waktu seakan-akan melambat, disaat dirinya ingin semuanya segera berlalu.

"Maaf."

Hanya sepatah kata yang hanya ia bisa ucapkan dari mulut manis nya.

Dahi nya mengernyit, bersamaan dengan suara kernyitan gigi, serta tatapan tidak senang yang terlontar dari kedua sorot matanya.

Ia berdiri dari tempat duduknya, kaki jenjangnya melangkah lurus dengan cepat, wanita paruh baya itu sudah berada dihadapan ku.

Tangannya diangkat keatas, tak lama kemudian suasana hening itu berubah menjadi suara tamparan yang mengisi seluruh ruangan.

Pria tua yang berada belakang ku pun hanya bisa menutup matanya, ia tidak bisa melakukan apapun.

"Bodoh, sini mama lihat." Tangannya langsung merebut kertas-kertas digenggaman anaknya.

"Peringkat berapa?" Suara berat seorang pria bertanya pada wanita paruh baya itu.

"Dua."

Terlihat genggaman tangan pria itu mengepal menampilkan urat-urat tangannya. Nafas gadis itu mulai tersengal, walaupun ia sudah tau bagaimana akhir dari semuanya.

Tamparan terdengar sekali lagi.

"Ternyata makin lama kamu makin bodoh ya? Dapet peringkat 1 emang sesusah itu buat kamu?"

𝗧н𝐞 𝑙𝑎𝒔𝑡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang