|cos π|

184 14 0
                                    

Bab 1 : Pertemuan

🥀🥀🥀

"Kak Ara, ayo bangun!"

"Ayah Bunda udah nungguin di bawah."

Suara cempreng disusul guncangan pelan di lengan Kara sungguh menganggu tidur nyenyak di minggu pagi yang cerah itu. Niatnya yang mau full rebahan untuk mengisi waktu luang malah terusik oleh suara berisik Aila, adik bungsunya. Huh, sikap hiperaktif-nya benar-benar merusak mood!

"Aduhhh, berisik banget, sih, Ai! Kakak masih mau tidur tau." Kara menggerutu kesal. Terpaksa gadis itu bangun dengan mata berat. Dia menguap beberapa kali sembari menyesuaikan cahaya sekitar yang meringsek masuk ke retina.

Dilihatnya kekeh ringan di bibir anak perempuan berusia tujuh tahun itu, memperlihatkan deretan gigi putih bersihnya. Juga lekukan kecil di pipi kanan dan kiri. Aila terlihat manis dengan lesung pipi di wajah yang lumayan chubby.

Kara paling lemah jika melihat ekspresi Aila yang satu itu. Kedua tangan itu terjulur untuk mencubitnya.

"Ihhh, gemas banget sih! Kenapa harus lo sih yang jadi adek gue. Kan, gue jadi enggak bisa iri terus benci sama lo." Kara mengencangkan cubitannya gemas.

Aila menahan perih langsung menamplok tangan jahil kakaknya. "Sakit, Kak. Ih!" adunya mengerucutkan bibir.

Kara meledakkan tawanya dan semakin gencar menjahili sang adik. Baginya, melihat wajah kesal Aila adalah kesenangan tersendiri dan penghibur lara Kara yang hari-harinya hanya dipenuhi kesuraman. Tertawa bebas tanpa beban seperti itu, mungkin bisa dihitung jari oleh Kara. Apalagi sekarang Kara sudah kehilangan salah satu penyemangat hidupnya. Reza, laki-laki yang dia temui di hari pertama Masa Pengenalan Sekolah tahun kemarin.

Laki-laki yang datang menawarkan beribu mimpi pada gadis yang mencintai kematian. Laki-laki yang datang mengajarkan banyak warna di hidup gadis yang hanya mengenal warna hitam dan putih. Akan tetapi, dia pula lelaki yang membawa pergi sejuta harapan yang sudah melambung tinggi. Hingga si gadis yang tidak memasang pengaman sedari awal terhempas retak dari ketinggian yang tak kira-kira.

Sesak. Terlalu sakit. Hingga rasanya tak punya tenaga lagi untuk bangun.

Sudah dua bulan berlalu semenjak kejadian itu. Kejadian di mana skandal perselingkuhan antara Reza dan Liana diketahui Kara. Sudah selama itu pula Kara menjaga jarak dari dua orang itu.

Awal-awal Reza dan Liana begitu kekeh ingin menjelaskan pada Kara, tetapi Kara kokoh membatasi diri dengan menjauh dari radiasinya. Bagi Kara, cukup sekali kesempatan. Tidak ada kesempatan kedua, apalagi kesempatan ketiga.

Hingga tibalah harinya dimana mereka benar-benar asing. Liana yang mulanya teman sebangku Kara memilih bertukaran tempat dengan Dino. Pun jika tak sengaja berpapasan di koridor hanya bola mata mereka yang saling memandang sekilas, lalu abai satu sama lain. Melenggang pergi seolah sebelumnya mereka tidak ada apa-apa.

Meski hati itu sudah tidak mengharap lagi. Meski Kara sudah mengikhlaskan. Tetapi, tetap saja Kara merasakan nyeri di dadanya tiap kali mengingat kenangannya dengan Reza dan atau pun dengan Liana. Seperti kemarin, Kara tidak sengaja memergoki Reza dan Liana berciuman di taman belakang sekolah. Bohong jika Kara bilang dia biasa-biasa saja saat itu. Sesak tiada tara seperti mengimpit dada.

Setetes cairan bening berhasil luruh dari mata Kara. Gadis itu memalingkan pandangan, cepat-cepat dia seka sebelum Aila melihatnya.

"Loh, Kak Ara nangis? Kakak kenapa?" Suara lembut yang tersirat nada kekhawatiran itu menginterupsi Kara.

Pura-pura Kara menoleh dengan wajah bengongnya. "Aila ngomong apa, sih? Kakak lagi bersihin belek mata tau," elak Kara meyakinkan.

Air muka Aila langsung berubah seratus delapan puluh derajat. "Ih, Kak Ara jorok!" cibirnya dan hanya dibalas tawa geli oleh Kara.

BagasKara : EfemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang