"Bak burung dalam sangkar.
Aku tak pernah sekalipun melihat singa mengaum.
Aku juga belum pernah melihat kokohnya pohon diluar."♡♡♡
Siang ini terik matahari sudah mulai menyengat kulit cantik nan putihnya milik Zia. Ia berniat untuk menghampiri Jendra selepas mata kuliah ini. Kenapa juga praktikumnya harus dilakukan diluar padahal dikelas bisa. Sungguh Zia tak habis fikir dengan rektor dan para dosen kampus ini.
"Tinggal berapa menit lagi sih, nyet?" tanya Zia pada Sara, teman sekelasnya.
Tak ada yang tau jika Zia merupakan anak dari rektor kampus karena memang Zia sendiri yang mau merahasiakannya. Bahkan dosen yang tau pun hanya beberapa saja. Dan barusan tadi pagi, Jendra adalah satu-satunya selain bu rektor dan Zia yang tau soal ini.
"Ini baru 5 menit yang lalu dimulai, tolol!" sentak Sara pada titisan kecoa ini.
Ia tak habis pikir memang dengan pembuat onar satu ini. Dari awal memang sudah menunjukkan gejala tak suka belajar. Namun anehnya nilainya selalu yang paling tinggi. Nggak, bukan karena orang dalam. Itu memang otaknya Zia yang kelewat encer.
Bahkan ketika Zia tertidur pun, pelajaran tetap masuk kedalam pikirannya. Sepertinya manusia ini positif memelihara demit lulusan professor. Hal yang agak diluar nurul soalnya.
"Gimana tadi? Lu kan yang bikin onar di radio?" tanya Ebi, selaku ketua kelas karena sedikit khawatir jika hal tersebut akan membuat Zia mendapat masalah.
Cie ciee Ebi...
"Aman, Rajendra ada dalam genggaman gue." Zia dengan percaya diri koar-koar kesana kemari membuat pernyataan tentang Jendra sebagai miliknya.
Zia yakin soalnya, bukan hanya dirinya yang tertarik dengan pangeran tampan satu itu. Pesona Rajendra mustahil dapat ditolak oleh ciwi-ciwi jamet diluaran sana. Pasti saingannya adalah mbak-mbak kating yang centil nan nggak jelas.
Biarkan saja, yang penting ia sudah memberitahukan perasaanya pada seluruh warga kampus. Sekalian biar ketenaran Zia merajalela.
"Beneran suka?" tanya Ebi lagi.
Zia melirik sinis, "1 juta persen wahai makhluk hidup! Ngapain juga gue beritain kalau nggak serius sama perasaan ini?" sahut Zia yang dibalas dengan tatapan najis dari teman kelompoknya.
Zia hanya membalas dengan cengiran tak peduli. Pada meng-iri kali ketika melihat Zia mendapat sebuah bongkah berlian yang tak bisa mereka miliki. Secara dia perfect begitu...
Haduhhh, sungguh membosankan. Zia ingin segera meninggalkan mata kuliah ini. Tujuannya kini ia fokuskan pada sebuah subjek yang sudah teramat jelas. Ia tak mau kehilangan seseorang lagi karena kesalahannya di masa lalu. Kali ini dia serius.
"Bu, saya izin ke toilet sebentar!" kata Zia sebagai peralihan agar ia bisa keluar sebentar.
Mau percaya tapi ini Fazia.
Ke kamar mandi? Jelas tidak. Dia mengamati sekitar sembari berjalan menelisik tiap sudut bangunan yang ia lewati untuk menemukan sosok pangeran yang ia puja-puja selama 4 jam yang lalu. Sudah 4 jam saja ia jatuh cinta pada Jendra.
Tak bisa ia biarkan, ini sudah terlalu lama.
Haruskah gue lamar dia nanti malam? Kalau gitu mahar apaan yang harus gue bawa? Keknya cinta gue udah cukup deh. Batin Zia bersamaan dengan membinarnya mata karena ia menemukan apa yang ia cari.
Dikantin. Tak heran sih, ini tongkrongan anak-anak cowok.
"Misi, ada yang duduk disini?" tanya Zia dengan lembut.
Jendra yang melihat kedatangan Zia menghela nafas kasar. Namun, ia tak berniat untuk pergi karena sejujurnya Jendra pun baru saja memesan menunya.
"Ada, kamu cari yang lain aja," sahut teman yang duduk didepan Jendra.
Zia tau kalau emang itu bukan tempat kosong, tapi ia tak bisa kehilangan tempat duduk itu. Tempat duduk yang tepat berada disebelah kiri Rajendra. Kan latihan nanti dipelaminan. xixixi
"Makasih, kak." Setelah mengucapkan terimakasih, Zia segera mendudukkan pantatnya tepat ditempat yang sudah ditandai dengan tas seseorang tepat disamping calon suami.
"Lu ga denger? Udah ada orangnya." Kali ini Jendra yang menegur Zia.
Zia tersenyum dengan sangat tulus. Semua orang dikantin kalau melihat kearah Zia pasti akan mengerti seberapa tulus dan seriusnya dia. Tulus ingin mengerjai Jendra.
"Yaudah, kita pindah aja," balas Zia.
"Perlu gue seret?" tawar Jendra dengan nada rendah yang terdengar menakutkan. Suasana dikantin kini seperti gudang yang terbengkalai selama 1 dekade lebih.
"Gapapa, digandeng kan berarti? nih!" Zia yang begonya udah natural, menyodorkan kedua tangannya agar digandeng Jendra.
2 teman Jendra tertawa kecil melihat perseteruan mereka. Tak ada niatan untuk membantu mengusir Zia karena yah bisa dibilang ini lampu ijo dari teman Jendra? Siapa sih yang suka ngelihat temannya menderita mulu? Pasti tak ada. Begitupun Raka dan Leo, tak suka ketika melihat Jendra terpuruk.
Mereka merasa kedatangan Zia membuat Jendra 'bergerak' (mungkin?).
"Jangan mentang-mentang lu anak-"
"Astaga kak Jendra, calon suamiku yang tampannya kelewatan, Zia lupa kalau lagi ada mata kuliah. Sampai jumpa nanti diparkiran, kak! Bye!" potong Lia sebelum Jendra meng-spill jati diri Zia diakhiri dengan kiss-bye khasnya.
Sengaja juga karena ia sudah pamit ke toilet selama hampir 20 menit. Yaudahlah bodoamat kalau orang-orang kelas mikirnya Zia boker. Mau dijelasin juga ga memungkinkan.
"Gila." pungkas Rajendra.
Temannya tau situasi ini. Bahkan seisi kampus semuanya tahu bagaimana kisah Rajendra dan Fazia yang tadi pagi diumumkan. Ada yang mengejek, namun ada juga yang turut prihatin. Daripada itu, lebih banyak orang yang tak suka pada Zia. Zia tau akan resiko itu, tapi ia tak peduli.
Toh mereka bukan siapa-siapa Zia.
Selagi tak berguna dan tak mengusik ketenangan Zia, maka biarlah mereka mengoceh sepuasnya.
"Pacaran beneran?" tanya Raka setelah melihat kepergian Zia.
"Sat! Ga ada waktu. Lu nanya lagi, gue sleding." Sungguh emosi karena ia sudah mendengar banyak pertanyaan ini.
Sudahlah hidupnya kacau malah nambah sambal. Jangan lupa karetnya dua ya bang. Ga ada manis-manisnya, ampun.
Meskipun Zia adalah anak orang berada, itu tak membuat Jendra tertarik sedikitpun. Kalau hatinya berkata tidak, ya jelas tidak akan pernah sampai kapanpun. Ia sudah capek mengejar beasiswa kesana-kemari, tak ada waktu istirahat yang cukup. Dia bahkan berpikir bahwa ia tak mungkin bisa hidup dengan cinta dari seseorang.
Orang sepertinya, tak pantas mendapat kebahagiaan, bukan?
Berbeda dengan Zia yang hidup sudah bergelimangan kasih sayang dari banyak orang dengan tingkah lucunya dan pembawa mood baik. Mereka beda dunia, sangat berbeda. Akan sangat lama untuk menyesuaikan diri.
Dan perlu diketahui, bahwa Rajendra bukanlah orang yang sebaik itu.
Tentu saja Zia tak tau. Ia kan juga baru bertemu tadi pagi.
"Gue ga peduli apapun dan gimana latar belakang lu, kak. Gue suka sama lu, dan gue yang akan bawa lu ke dunia yang penuh warna ini," lirih Zia sebelum mulai mengerjakan laporan praktikumnya.
☆☆☆
Hi!
Menurut kalian apa nih masalah yang Rajendra hadapi hingga membuat mahasiswa satu ini berfikir tak bisa hidup dengan cinta dari orang lain? Author tebak ini pasti masalah traumatis. Mari kita semua berharap semoga Rajendra merasakan kebahagiaan di dunia yang sangat singkat ini.
Berikan semangat kalian kepada Zia yang berusaha mengambil hati kak Rajendra juga!
Okey, all, jangan lupa simpan story ini di perpustakaan kalian.
Happy reading and don't forget for vote and comment. Thankyou!
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE AND LIFE
Romance"Aku pernah percaya bahwa tak akan ada sedetikpun waktu untukku berbahagia, meski hanya sekedar tersenyum tipis," ucap Rajendra Ibra Saddam. "Lantas, izinkan aku untuk berperan sebagai pelukis dalam hidupmu, Jendra," sahut Fazia Fabiola dengan tulus...