"Seperti akar sebuah pohon,
kita tak pernah tau sejauh dan sedalam apa sang akar menancap."♡♡♡
"Ah lu mah, bagi ngapa?!" Masih tak selesai dengan masalah kecil ini, Zia sudah menahan kesabarannya.
Zia menghampiri teman Jendra untuk mengulik-ulik bagaimana sosok seorang Jendra selama ini. Ia juga merengek sedari satu jam yang lalu hanya untuk meminta nomor Jendra. Masa udah berhari-hari gini masih ga dapet nomornya sih. Kan, lucu...
"Dibilang ngomong langsung ke orangnya. Gue bukannya ga berani, masalahnya Jendra udah mewanti-wanti kita buat ga ngasih nomornya ke lu," sahut Raka, teman Jendra.
Raka berulang kali menjelaskan bahwa Jendra memang memberi titah pada mereka untuk tak membagi informasi pribadi apapun ke Zia. Sepertinya Jendra ini sudah tau apa yang akan Zia lakukan di tiap langkahnya.
Padahal sampai saat ini tak ada yang bisa menebak kelakuan Zia, namun kenapa si Jendra ini bisa.
"Mekdi deh bang!" tawar Zia.
Gapapalah bokek demi nomor Jendra. Cuman mekdi juga.
Raka dan Leo menggeleng kompak. Dikira cowok apaan mereka disogok pakai mekdi. Beda lagi kalau emas atau uang banyak.
"Ples m*xue deh!" tambah Zia yang membuat mereka saling memandang satu sama lain.
"Tambah risol danusan mpok ijah!" seru Leo bersemangat.
"Bajingan! Ngelunjak lu pada," balas Zia.
Meskipun ia mengumpat, namun tetap saja ia mengeluarkan hp nya dan membuka apk gr*bfood untuk memesan makanan sesuai request. Melayang sudah kertas-kertas merah di kantong Zia.
Mereka pun memberi nomor Jendra ke Zia sesuai kesepakatan. Siapa yang bisa menolak traktiran ayam, es krim sama risol danusan coba? Mana akhir bulan dimana anak kos lagi miskin-miskinnya.
"Kak Jendra dimana dah, kok belum nyampe?" tanya Zia pada Raka dan Leo.
Mereka mengendikkan bahunya sebagai jawaban bahwa mereka tak tahu. Mereka juga belum melihat Jendra siang ini. Mungkin Jendra sedang di perpustakaan atau masih di kos juga tak tau.
"Sama mau minta nomor kalian dong! Ntar kalau suami gue sakit, bilang ke gue, ya?" Zia tersenyum dan berusaha menunjukkan puppy eyes-nya.
Mereka mengangguk saja. Lagian tak ada ruginya juga membagi nomor mereka. Bisa saja ketika mereka sedang tak ada dan Jendra sakit, mereka tak mengkhawatirkan keadaan Jendra lagi. Minimal ada orang selain mereka yang peduli pada Jendra.
"Lu beneran suka sama Jendra?" tanya Leo merubah nadanya dengan serius.
Waduh, Zia berasa di interogasi.
"Otak lu kecil banget pasti. Pertanyaan ini retoris buat gue," sahut Zia malas.
Mereka yang tadinya memajukan badannya dari senderan kursi, sekarang menyenderkan tubuh mereka lagi. Alias mereka tau bahwa orang ini tak bisa diajak serius.
"Ga percayaan banget deh lu pada! Kalau ga cinta ga mungkin gue luangin tiap waktu gue buat Jendra padahal orangnya ga pernah respon gue sampai sekarang," tambah Zia melihat mereka yang memcing matanya menaruh kecurigaan pada Zia.
Raka dan Leo mengangguk-anggukan seolah paham terhadap setiap ucapan Zia. Memang benar juga, buat apa Zia selalu kesana-kemari mencari Jendra dan memastikan kedaan Jendra kalau bukan karena perasaanya. Kalau konteksnya bodyguard beda lagi, nyet.
Mau gimanapun respon Jendra, Zia tetap akan bersikap sama seperti hari-hari sebelumnya.
"Ngapain ke sini?" tanya Jendra tiba-tiba dari arah belakang Zia.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE AND LIFE
Romance"Aku pernah percaya bahwa tak akan ada sedetikpun waktu untukku berbahagia, meski hanya sekedar tersenyum tipis," ucap Rajendra Ibra Saddam. "Lantas, izinkan aku untuk berperan sebagai pelukis dalam hidupmu, Jendra," sahut Fazia Fabiola dengan tulus...