LOVE AND LIFE 3

13 4 1
                                    

"Jatuh itu bukan berarti gagal.
Namun, itu adalah tangga menuju kesuksesan.
Bahkan ketika kamu terperosok ke tangga paling dasar."

♡♡♡

Ini sudah jam 8 malam, dan Zia belum melihat batang hidung calon suaminya. 2 jam lebih ia menunggu disebelah motornya dan motor Rajendra, namun makhluk itu tak kunjung datang. Jadi makin khawatir.

Dengan memberanikan diri, Zia mulai mengambil langkah pertamanya dan mengira-ira dimana posisi Rajendra sekarang. Memang belum terlalu sepi, karena banyak mahasiwa yang masih standby di kampus, tapi tetap saja, ditempat yang seluas ini, itu terlalu sepi bagi Zia.

Zia percaya dengan langkah kakinya kemanapun membawanya pergi.

"Sial! Kenapa lift nya mati?!" gerutu Zia.

Tanpa mempertimbangkan apapun, Zia dengan langkah cepatnya menaiki tangga menuju lantai 5. Iya, ini tangga menuju ke rooftop. Manusia mana lagi yang segila Zia coba? Sendiri, tanpa kepastian dan dengan sok beraninya pergi ke lantai ats.

brak!

"aaaaa~" teriakan panjang memekik memenuhi ruangan lantai 3. Karena ini didalam gedung, jadi suaranya menggema.

Dengan nafas tersengal-sengal, Zia berlari tanpa tau apa yang jatuh barusan. Ia percaya hantu itu ada, jadi ah sudahlahh lari saja.

brak!

"ANJING!"seru Zia.

Tubuh mungilnya terpental kala ia menabrak dada bidang seseorang dengan sangat keras. Ia berhenti berlari dan sibuk mengelus-elus dahinya dengan kasar tanpa melihat siapa yang barusan ia tabrak. Lagian ada-ada saja, human satu ini. Udah tau berada di tempat remang-remang gitu masih sempetnya berlari.

"Ngapain?" tanya Rajendra, orang yang Zia tabrak.

Mendengar suara itu, tangannya berhenti memegang dahi mulusnya. Ia tau suara itu. Seperti ia sudah mengenal suara ini sangat lama, dengan menarik kedua sudut bibirnya maksimal, Zia mendongakkan kepalanya.

Bingo! Ketemu.

"Nyari kak Jendra. Tadi kan gue udah bilang kalau mau nungguin lu diparkiran," balas Zia lagi dan lagi diakhiri dengan cengirannya tanpa merasa bersalah.

"Gue ga nyuruh." Dengan tegas Jendra mengucapkan 3 patah kata yang membuat Zia tambah kesengsem.

Jendra melangkah melewati Zia kearah tangga menuju lantai bawah. Refleks, Zia tentu mengikutinya. Ingat, dia sampai sejauh ini hanya untuk mencari Rajendra.

"Namanya juga lagi ngejar orang, harus ada inisiatif dari diri," kata Zia sembari menyamakan langkah besarnya Jendra.

Masih tak terbiasa dengan ciptaan Tuhan yang satu ini, Jendra menggelengkan kepalanya heran. Di pembagian logika kayaknya Zia datang paling akhir deh, atau justru dia ga kebagian.

"Kak Jendra udah makan?" tanya Zia melihat tak ada respon positif dari Jendra.

Capek juga ngomong sama kutub es berjalan. Kali ini Jendra waktu pembagian kosakata buat bicara dia ga kebagian banyak. Dan pastinya Zia antri nomor satu. Tak ada capeknya mengoceh panjang lebar. Capek, tapi kalau sama Jendra ga. Memang, cinta itu menyenangkan.

grrrr~

Itu suara perut Jendra. Suaranya gede banget lagi menuhin lorong tangga yang sepi ini. Zia tertawa kecil karena meskipun tak mendapat sahutan dari sang calon kekasih, ia mendapat dukungan dari alam. Sungguh Zia merasa sangat berterimakasih dengan dukungan dari semua pihak, meskipun itu adalah hal yang ghaib.

Loh iya, Zia harus berterimakasih kepada orang atau hantu yang jatuhin benda hingga membuat Zia berlari kalang kabut dan meciptakan tragedi ini.

"Padahal tinggal ngomong aja kalau laper. Jangan malu-malu gitu," ejek Zia dengan nada dibuat-buat.

"Ga, makasih," tolak Jendra dengan nada ketus.

Zia yang tak bisa menyeimbangkan langkahnya, tersandung oleh kakinya sendiri. Jatuh lagi? Kenapa lantai kampus ini sangat menyukai Zia hingga membuat Zia selalu terjatuh diatasnya. Jujur dahinya saja masih pusing, dan dadanya terasa agak sesak karena sempat terkejut lagi. Masa kali ini siku kakinya harus terluka sihh.

Zia menunduk, merasa capek sendiri dengan dirinya. Tapi dia nggak menyesal mengejar kak Jendra kok. Dia tahu sendiri kalau emang anaknya energic, jadi kadang ia merasa sangat capek karena tiap malam ia selalu kehabisan tenaga.

Pernah kalian nangis karena terlalu aktif? Bagi Zia itu adalah makanan tiap malamnya. Ia tak stress, hanya saja ia memegang motto bahwa kalau capek itu harus nangis, biar terisi lagi tenaganya. Ada yang mau nyaingin keanehannya Zia?

Meskipun ia tak menyukai Zia, namun Jendra bukanlah lelaki brengsek yang rela meninggalkan cewek dalam kondisi seperti ini sendirian. Dia masih memiliki sifat manusiawi. Bukan hanya kepada Zia, namun siapapun itu yang ia temui.

"Ga usah pake nangis. Berdiri, atau gue tinggal kalau kelamaan?" ancam Jendra.

Okey, author tarik ucapan soal Jendra memiliki sifat manusiawi. Punya, tapi dengan kadar 5%? Tega banget nyuruh orang yang udah naik turun tangga hingga lantai 3, plus udah berdiri 2 jam nunggu Jendra. Mana kuat Zia berjalan sekarang.

"Kak Jendra pergi dulu aja, gue istirahat bentar, ga kuat jalan, kak." Zia masih menundukkan kepalanya karena tak mau memperlihatkan sisinya yang aneh ini. Mau ditaruh dikantong siapa lagi muka Zia yang imut ini?

Jendra menurut? Jelas iya. Tanpa penjelasan dan akhir kata apapun, Jendra dengan percaya diri meninggalkan Zia di lantai 2. Suara langkah kaki Jendra ketika menuruni tangga masih terdengar oleh Zia, dan perlahan suara gema itu berhenti.

Pecah sudah tangisan Zia sekarang.

"Hari ini capek banget, Aga. Aku udah jatuh dua kali, dan kamu ga ada disini. Aku belum cerita ke kamu ya soal kak Jendra? Maaf, Aga. Aku pasti akan berjuang lagi buat dapetin kebahagiaan aku, seperti kata kamu. Bantu aku Aga, soalnya kak Jendra susah dapatinnya," lirih Zia dengan tangisannya yang membuat setiap kata itu terputus-putus.

Tak sampai 10 menit, ia mengusap air matanya dan kembali mengisi energinya lalu berlari dengan mengabaikan rasa sakitnya. Masa gitu aja udah nyerah. Ini malah makin seru.

Loh?

Kak Jendra?

Dia nungguin Zia, kah?

"K-kenapa masih disini, kak?" tanya Zia tanpa menatap manik cokelat milik Jendra.

Zia yakin 100% bahwa matanya masih memerah, hidungnya juga masih kembang-kempis, serta masih ada ingusnya. Kucel dan udah comping-camping. Pemandangan hebat terpampang nyata didepan Jendra. Tentu ini hanya pikiran Zia, karena bagi Jendra, itu masih biasa saja.

"Bisa bawa motor?" tanyanya.

Kan nggak lucu kalau ada berita, 'Rajendra membuat anak semata wayangnya bu rektor terluka sendirian malam-malam di kampus.' Jangan sampai mengurangi poin TAK nya, bisa bahaya.

"Mau nebengin? Ayuk! Kebetulan masih sakit juga," sahut sumringah Zia.

"Gue pesenin grab." Ini bukan tawaran, melainkan keputusan Jendra.

"Lu tega biarin gue naik grab malam-malam gini? Nanti kalau abang grabnya macam-macam sama gue gimana? Ntar kalau gue diculik gimana? Terus besok lu nikahnya sama siapa kalau gue diculik? Yang ngurus anak-anak kita nanti siapa? Yang bersihin rumah kita siap-"

"Brisik! Cepetan kalau mau bareng." Jendra meninggalkan ocehan Zia.

Zia berlari kecil dengan menyanyikan alunan nada indah menuju ke parkiran. Ia meninggalkan motornya di kampus. Andai tiap hari hidupnya se mudah ini. Jadikan Zia tak perlu menangis terus-terusan.

☆☆☆

Hi!

Gimana nih bagian 3 hari ini? Udah ada konfliknya belum nih kira-kira? Sepertinya abang Jendra ini agak malu-malu kucing juga ya... Gapapa, kita harus dukung lagi Zia untuk menghadapi hari-hari sulitnya.

Happy reading and don't forget to vote and comment!

LOVE AND LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang