Ternyata transmigrasi itu beneran ada. Aku kira hanya sebuah cerita fantasi yang bertujuan untuk menghibur pembaca, nyatanya tidak. Transmigrasi itu benar-benar ada, dan aku mengalaminya sekarang.
Aku Naomi, remaja lima belas tahun yang bercita-cita ingin lulus SMP dengan cepat. Namun, keinginan itu harus kandas karena aku bertransmigrasi. Ya, entah kesalahan apa yang kuperbuat di masa lalu sampai aku bertransmigrasi menjadi—
“Dek Yaya sudah bangun? Sini Mas Al gendong.”
Bayi. Ya, aku bertransmigrasi menjadi bayi. Bayi yang belum bisa apa-apa dan hanya bisa menangis di saat lapar dan haus.
“Ututututu, gemasnya ... Adek ciapa, cih?” Laki-laki yang menyebut dirinya Al itu mengangkat tubuhku dari kasur dan menggigit gemas pipi chubby milikku.
“Nyam ... lama-lama Mas makan kamu, Dek.”
Mwah, mwah, mwah!
Penuh sudah wajahku dengan air liurnya. Jorok! Mau protes juga tidak bisa, aku hanya bisa menangis dan meronta-ronta minta diturunkan dari gendongannya.
“Eh, jangan nangis, nanti Mas dikira nyakitin kamu.” Al berusaha menenangkanku dengan menepuk pelan bokongku dan menimang-nimang tubuh mungilku ini.
“Ma, Adek nangis minta susu.”
Heh, fitnah!
Cowok itu membawaku keluar dari kamar menuju seorang wanita yang sedang menjahit. Sepertinya itu Mama baruku.
“Kenapa, Al?” tanya Mamaku. Ya, sekarang Ibu itu menjadi Mamaku.
“Adek nangis minta susu.”
Padahal aku sudah tidak menangis.
“Iya? Sini Mama gendong.” Aku beralih di gendong Mama. Em ... empuk!
Mama mengelus kepalaku dengan sayang, menimang tubuhku dengan lembut dan mencium keningku dengan hangat.
Ah, aku jadi teringat dengan ibuku di rumah. Kira-kira Ibu kehilangan aku di rumah tidak ya? Ragaku sekarang ada di mana, ya? Ibu sedang apa di rumah?
Ibu, aku rindu.
***
Siang itu, saat matahari sedang terik-teriknya, aku berjalan di pinggir jalan. Berjalan tanpa arah karena aku sedang bertengkar dengan Kakak laki - laki ku.
Hanya perkara sepele, dia menegurku. Padahal aku 'kan sedang belajar untuk menghadapi ujian.
Semua itu berawal dari ....
“Nao, bikinin Abang kopi!”
Itu Bang Neizen, aku biasa menyebutnya dengan nama Nei. Satu-satunya orang yang bisa memerintahku dengan seenak jidatnya.
“Bikin sendiri, Nao sibuk!”
Hening. Kupikir Bang Zen pergi, karena aku mendengar suara pintu dibuka. Nyatanya salah! Bang Zen malah membawa pasukannya ke dalam rumah.
Seketika rumah yang tadinya hening itu mendadak ramai karena suara teman-teman Bang Zen.
Aku yang sedang belajar pun jadi terganggu. Ah, mereka berisik sekali. Tapi, aku tetap memaksakan untuk fokus belajar, karena besok ujian matematika.
Lama-lama aku tak tahan dengan suara berisik itu. Akupun keluar dan menegur mereka.
“Sttt, jangan berisik, aku lagi belajar,” ucapku dengan meletakkan telunjuk di bibir.
“Apa, sih, Nao? Belajar tinggal belajar,” jawab Bang Zen.
“Tapi kalian berisik, Nao jadi gak fokus belajarnya. Kenapa ngumpulnya harus di sini? Kenapa nggak di rumah Bang Davi aja?” tanyaku menatap sebal pada sekumpulan laki-laki itu.
“Ya, suka-sukalah!”
Aish! Sebal aku sama Bang Zen. Aku lalu pergi lewat pintu belakang. Terserah kalian mau bilang aku lebay atau apa, yang pasti aku benar-benar kesal saat ini!
Bang Zen tidak pengertian!
“Mbak, awas mobil!”
Sampailah aku dikejutkan dengan teriakan warga. Kejadian itu begitu cepat, aku langsung tak sadarkan diri dan bangun-bangun sudah berada di tubuh bayi mungil ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naomi Jadi Bayi [END]
RandomCerita ini tidak sengaja saya tulis ketika ada tugas membuat cerpen. Sebelumnya, saya tidak berniat untuk melanjutkan cerita ini. Cerita ini sudah selesai. Tetapi, setelah teman-teman membaca, serta memberi kritik dan saran, mereka meminta untuk ada...