Keesokan harinya.
"KAU BERCANDA?! Itu Raja?" tanyaku, membelakan mata, dan menunjuk-nunjuk seorang laki-laki muda di tengah joglo tengah danau yang sedang membaca bukunya..
"Tentu saja yang mulia."
Apa ini jawaban kenapa aku di sini? Apa yang aku lihat saat ini benar adanya? Orang itu menjadi raja.
Bagaimana bisa semirip itu. Aku sudah menyelidiki sebulan ini, tidak ada sama sekali kamera tersembunyi. Mana mungkin ini sebuah reality show? Lagi pula dia tidak punya sebanyak itu uang untuk menyewa istana sebesar ini dan menjadikan dirinya sebagai raja.
Atau mungkin seperti itu?
"Are you kidding me?"
"Hah? Saya tidak paham yang mulia."
"An Yi Zie. Dia itu An Yi Zie." Aku tiba-tiba merasa marah untuk semua yang telah aku alami. Aku merasa tertipu.
"Siapa, An Yi Zie?" tanya Tsu Yi .
"Dia bukan Raja, dia An Yi Zie bukan? Kau tidak perlu berbohong lagi padaku," protesku.
Ia melongo menaggapi rancauanku.
"Saya tidak paham." Tsu Yi terlihat cemas mengenai kewarasan majikannya.
Melihat ekspresi Tsu Yi menjadikanku ragu pada kesimpulanku.
"Bukan?" aku mencoba menurunkan emosi.
Tsu Yi tidak menjawab. Ia tahu itu bukan pertannyaan untuknya.
Kembali pada kenangan masa modern.
Dia pegawai desain interior di perusahaanku. Pemikirannya sangat brilian. Aku memacarinya untuk mencuri ide-idenya. Lalu membuangnya ke sampah setelah keinginanku tercapai. Namun, setelah semua yang aku lakukan padanya, ia masih saja memintaku bersamanya. Dia ingin terus mencintaiku. Bahkan tanpa mengharap balasan dariku.
"Kenapa kau masih di sini?"
Aku mempercepat langkahku menuju mobil. Hujan turun lebat. Payung yang aku gunakan hampir terbang oleh angin berkali-kali. Aku baru keluar dari dalam hotel tempatku rapat dengan klien. Ternyata orang ini telah meungguku di tengah hujan, dan kini membututiku seperti anak itik yang kehilangan induk.
"Aku masih menunggu jawabanmu."
Aku mempercepat langkahku ke mobil yang terpakir di luar hotel. Di kejar oleh laki-laki yang telah basah kuyup tanpa payung. Kenapa dia harus hujan-hujanan di cuaca dingin seperti ini.
"Aku sudah memberikan jawaban. Aku tidak mau lagi bertemu denganmu."
Aku telah sampai di depan mobilku. Lalu mencari-cari kunci mobil dalam tas, kalau bisa secepat mungkin, tapi malah tidak kunjung ketemu.
"Tapi aku tidak bisa. Aku akan terus mencarimu."
Aku menghentikan kegiatanku. Aku melihatnya dari kaki hingga kepala. Dia tampak berantakan.
Kaos oblong dan celana pendeknya basah kuyup. Wajahnya terlihat sangat pucat karena kedinginan. Hidung mancung dan pipinya merah karena hawa dingin, matanya yang tajam dan mirip mata elang, sengaja ia sipitkan karena aliran air hujan. Tinggi badannya mencapai 180 cm, sedangkan aku hanya 160 cm. Sehingga aku harus mendongak tinggi untuk melihat wajah juga rambut hitamnya yang basah dan awut-awutan.
"Kau benar-benar gila," umpatku.
"Anggap saja begitu," jawabnya cepat.
"Kau harusnya sadar An Yi Zie. Sadar! Aku telah selingkuh darimu. Mengakui desain ciptaanmu, sebagai milikku. Menghancurkan image-mu di depan umum. Tapi kau masih mengemis cinta dariku. Apa kau telah kehilangan kewarasan?" Aku memutar jari telunjukku di pelipis untuk menekan tiap kata yang aku lontarkan.
Aku memukul dadanya yang sekeras samsak tinju. Itu sama sekali tidak berefek padanya. Sedangkan aku, akhirnya melukai jari-jeariku karena pukulanku sendiri.
Ia terlihat merasa bersalah, karena suatu hal yang sebenarnya itu salahku. Memuakkan!
"Iya. Dan aku tidak tahu harus apa untuk mengakhiri rasa ini. Aku hanya ingin bersama mu. Aku ingin menikahimu, Jian Yi."
Aku mencengram payungku dengan lebih erat, mencengah sesuatu keluar dari kelopak mata. Telah kulihat kesungguhannya berkali-kali. Mendengar ungkapan sepenuh hati itu lebih dari sekali. Namun tetap saja membuatku marah, tetap saja membuatku merasa bersalah.
"Please, stop! Hentikan! Aku mohon hentikan kegilaanmu. Aku tidak ingin menikah. Dengan siapa pun. Tidak denganmu, atau orang lain. Aku tidak percaya pada pernikahan. Jadi kau tidak usah berharap macam-macam dariku."
Aku tidak tahan, aku mencari lagi dalam tas, dan akhirnya menemukan kunci mobil yang aku cari. Aku tekan tombol kunci otomatisnya, lalu aku buka pintunya. Namun An Yi Zie mencegahku masuk, dengan memegangi pergelangan tanganku dengan tanganya yang kekar, basah, dan dingin.
"Maka dari itu, aku akan selalu di sini," ujarnya.
"Lepaskan, aku An Yi Zie." Aku meronta. Namun tenaganya sungguh tidak dapat sedikit pun dilawan. Aku tidak berkutik. "Kau menyakitiku," cicitku lemah.
Lalu tangannya segera melonggar dan lepas. Ekspresi bersalah muncul pada wajahnya.
"Setidaknya. Jika tidak bersamaku, carilah laki-laki lain yang ingin engkau nikahi. Aku hanya berharap, ada yang melindungimu, tidak harus aku. Maka aku akan rela melepasmu untuk selamanya."
Bagamana bisa? Bagaimana bisa manusia bisa mengatakan hal itu dengan begitu mudahnya? Sedangkan aku, merasa terlalu berharga saat mendapat ucapan itu darimu.
"Apa kau tuli? Aku tidak akan menikah!" suaraku bergetar sedih. Tangisku akan pecah kalau tetap di tempat ini lebih lama lagi.
"Come on, An Yi Zie. Harusnya kau punya alasan mengapa kau bisa seperti ini bukan? Beri aku alasan, kenapa kau mencintaiku sedalam ini? Apa kau tidak sakit terus-menerus melakukan hal ini?" aku mencoba membujuknya.
Ia terdiam sejenak, matanya kosong, namun aku menangkap ketulusan di tiap kata yang ia lontarkan.
"Aku tidak tahu. Ini hanya cinta. Aku tidak dapat mengendalikannya," jawab An Yi Zie, terlihat kesedihan di matanya.
"Tidak ada gunanya berbicara panjang lebar padamu, kalau jawabanmu seperti itu. Aku rasa kau harus ke rumah sakit jiwa segera. Cintamu tidak cukup normal untukku. Itu bukan cinta, itu seperti ... kutukan!"
Aku membalikan badan, melipat payung, lalu segera masuk ke dalam mobil, tidak ingin melihat ekspresi itu lagi.
Aku menyalakan mesin mobil, menyetir menuju ke jalan raya utama. Melihat sosoknya semakin mengecil dari pantulan sepion samping mobilku. Hingga menghilang di tengah guyuran hujan dan jarak yang memisahkan.
Aku tidak sadar, pertemuan itu adalah pertemuan terakhir kami, karena setelahnya, aku hanya akan melaju menyongsong kematianku.
Bersambung ...
Besok lagi ya ... Semoga suka ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Mati di Episode Satu (TAMAT)
Romance"Yang Mulia Ratu! Saat ini Raja sudah punya selir kesayangan!" SIAL. Aku harus cepat-cepat turun dari posisi Ratu. Tahta ini akan membunuhku. Aku tidak mau mati konyol di episede satu. Saatnya untuk menjadi comblang cinta antara Raja dan Selir kesay...