Keesokan harinya
Rumor mulai menyebar mengenai keinginan Raja yang ingin menjadikan Yi Wen sebagai madame-nya. Berbagai tangapan pun menyertai rumor tersebut. Banyak yang setuju, namun ada pula yang tidak suka dengan ide itu.
Tsu Yi-lah yang menyampaikan gossip itu, saat Ratu tengah menyantap sarapan buah-buahannya seperti radio yang menyampaikan berita di pagi hari.
"Para Mentri menyukai ide bahwa Jendral Yi Wen lebih baik menjadi Madame. Karena sesungguhnya mereka tidak setuju dari awal, bahwa seorang wanita tidak layak turun dalam peperangan, apa lagi menjadi Jendral," ceritanya, sambil mengupas buah-buahan yang akan aku santap menggunakan pisau kecil.
Lagi-lagi, masalah utama masa feodalisme, ketidaksetaraan gender.
Lalu ia melanjutkan lagi, "Adapun yang tidak setuju, karena takut bahwa klan Hong akan semakin berkuasa."
Tidak di masa ini, atau masa lalu, semua selalu berkutat pada kekuasaan bukan?
"Aku masih tidak mengerti. Kenapa Yi Wen tidak langsung diutus untuk menjadi Madame. Bukannya itu hanya satu jentikan jari bagi seorang Raja?" tanyaku pada Tsu Yi .
"Apa yang mulia lupa pada janji Raja dua tahun yang lalu?"
"Kau ingin aku mengingat saat aku sekarat?" aku memberikan alasan yang logis untuk ketidaktahuanku.
"Ah, benar juga. Dua tahun yang lalu Jendral Yi Wen menang dalam peperangan. Setelah pulang dari medan perang, para sesepuh klan Zi Xu mendesak Jendral Yi Wen untuk segera menikah karena usianya yang sudah matang untuk ukuran seorang wanita. Ia kesal, dan saat prosesi pemberian hadiah, ia meminta pada Raja, untuk menyetujui sebuah petisi, bahwa dirinya adalah wanita bebas, yang tidak boleh dipaksa menikah bahkan oleh keluarganya sendiri, bahkan termasuk raja sendiri."
Aha! Aku teringat perkataan Yi Wen sebelum meninggalkan istana kemarin. Jadi begini asal muasalnya.
"Dan itu sekarang menjadi boomerang untuk Yang Mulia sendiri," monologku.
"Lalu?" Aku menggigit apel yang telah dikupas sebelumnya sambil mendengarkan cerita.
Tsu Yi terdiam sesaat, sebelum menjawab dengan lesu, "Saya berharap tidak pernah mendengarnya."
"Katakan saja," bujukku.
"Mereka berharap Raja segera menikah lagi, agar kerajaan secepatnya memiliki Putra Mahkota."
Seperti dugaanku. Banyak sekali orang-orang yang ingin aku segera di turunkan, atau setidaknya segera dimakamkan.
"Iya, mengharpkan anak dari seorang Ratu penyakitan itu sia-sia," jawabku enteng. Tentu aku sudah tidak peduli.
"Yang Mulia. Anda sekarang sudah sehat lagi," protes Tsu Yi .
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan.
"Tapi ... sayangnya aku sama sekali tidak minat untuk tetap di posisi ini."
Ratusan orang, bahkan ribuan orang menginginkan jabatan yang aku miliki sekarang. Namun aku, tidak sama sekali menginginkannya lagi. Aku lebih memilih hidup tenang menjadi biasa-biasa saja, dari pada selalu ketakutan dalam gelimangan harta.
"Kemana pun yang mulia pergi, hamba akan selalu berada di samping Yang Mulia. Apa pun yang terjadi," ujar Tsu Yi tulus.
"Terima kasih," jawabku, menimpali ketulusannya.
Aku melihat sesuatu yang lain di samping Tsu Yi , dan itu bukan buah.
"Kau membawa apa?" tanyaku.
Tsu Yi menyerahkannya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mati di Episode Satu (TAMAT)
Romance"Yang Mulia Ratu! Saat ini Raja sudah punya selir kesayangan!" SIAL. Aku harus cepat-cepat turun dari posisi Ratu. Tahta ini akan membunuhku. Aku tidak mau mati konyol di episede satu. Saatnya untuk menjadi comblang cinta antara Raja dan Selir kesay...