"Berapa sandi handphonemu?"
"Aku tidak mau memberitahu sebelum Anda memberitahukan nama Anda padaku"
"Apa pentingnya nama saya untukmu?"
"Agar kita lebih akrab"
"Akrab untuk apa?"
"Ayolah, Om.. Mau aku beritahukan sandinya tidak?"
"Soobin" pria itu memilih mengalah dan memberitahukan namanya pada Taehyun.
"Om Soobin.. Nama yang bagus" Taehyun tersenyum riang dan membuka mulutnya lebar-lebar. "Satu suap lagi baru aku beritahu".
Soobin menghela nafasnya dan mau tak mau menyuapkan sesendok nasi beserta lauknya ke mulut Taehyun. Sejak tadi dia menyuapi Taehyun makan malam dengan janji Taehyun akan memberikan sandi handphonenya. Namun sampai isi piring itu tinggal setengahnya, Taehyun tak juga memberikan apa yang diinginkan. Malah menambah syarat untuk memberitahukan namanya pada bocah berisik itu.
"0518"
"Hah?"
"0518, itu sandinya, Om"
Soobin terdiam sejenak. Bukankah kata sandi itu...
"Itu angka apa?" Soobin mencari tahu
"Itu tanggal lahir aku sama ibu aku"
"Oh, kamu lahir tanggal 5"
"Bagaimana Om bisa menebak kalau aku lahir tanggal 5? Bisa saja kan aku lahir tanggal 18"
"Kamu lupa? Saya kenal orang tua kamu"
"Aku pikir Om hanya kenal ayahku, ternyata kenal ibu juga, bahkan sampai tahu tanggal lahirnya. Apa dulu kalian berteman?"
"Tidak"
Soobin melanjutkan menyuapi Taehyun hingga makanannya habis lalu memberinya minum. Selanjutnya Soobin ingin kembali ke kamarnya dan membuka handphone Taehyun untuk mencari informasi atau sekedar bermain-main dengan orang tuanya.
"Kamu habis ini cepat tidur, tidak boleh berisik, apalagi mengganggu saya" titah Soobin sebelum beranjak dari tempat tidur Taehyun.
"Tapi sebelum tidur biasanya aku dicium ibu dulu di kening dan di pipi" Taehyun mengerucutkan bibirnya sedih. "Om cium aku ya gantiin ibu".
Soobin terkejut dengan permintaan Taehyun yang lagi-lagi aneh di luar nalarnya. Soobin melanjutkan langkahnya keluar dari kamar sambil membawa piring kosong lalu membanting pintunya keras sebagai tanda penolakannya pada Taehyun.
Taehyun hanya mampu menatap nanar ke arah pintu. "Ibu.." ia benar-benar merindukan ibunya sekarang.
***
Soobin mendaratkan tubuhnya di sofa tunggal di dalam kamarnya, duduk bersandar dengan santai dan nyaman. Di genggaman tangannya terdapat handphone milik Taehyun yang sejak tadi sore sangat berisik. Ada puluhan notifikasi pesan dan juga dering telepon yang diketahui berasal dari orang tua Taehyun, atau lebih tepatnya dari ibunya.
Telepon masuk sengaja ia abaikan, karena ia ingin sedikit mengulur waktu untuk mengumumkan jika ia telah menculik Choi Taehyun, anak tunggal dari seorang Kepala Jaksa Wilayah Pusat. Dengan berbekal kode sandi yang Taehyun berikan, Soobin membuka handphone Taehyun dan mulai membaca satu persatu pesan singkat dari ibunya. Isi pesannya tak lain menanyakan keberadaan sang anak yang belum juga pulang kerumah padahal hari sudah malam.
Satu pesan yang menarik perhatian Soobin, 'sebentar lagi ayahmu pulang, nanti dia akan marah jika kamu belum sampai dirumah'. Cih, ternyata ibunya lebih khawatir jika suaminya akan marah daripada mengkhawatirkan keadaan anaknya sekarang. Suami dan istri sama saja, sama-sama tidak peduli dengan anaknya, begitulah yang Soobin simpulkan saat ini.
Soobin letakkan handphone Taehyun di atas nakas, rasanya tidak ada yang menarik, belum ada tanda-tanda kekhawatiran yang amat sangat dari orang tua Taehyun. Mungkin besok, atau lusa, jika mereka sudah benar-benar panik karena anaknya menghilang, atau bisa jadi tidak sama sekali? Entahlah.
Soobin bisa dibilang sedikit nekat, bagaimana tidak, ia menculik anak dari seorang yang bahkan dengan mudahnya bisa menjebloskan siapapun ke penjara. Seorang jaksa kompeten yang selalu berhasil menangani kasus-kasus besar tidak peduli bagaimanapun caranya.
Iya 'tidak peduli bagaimanapun caranya', walau ia harus mengarang bukti dan saksi sekalipun. Setidaknya itu yang pernah Soobin alami sehingga ia mendekam di penjara 14 tahun lamanya. Melihat bagaimana bisa Soobin yang merupakan seorang anggota polisi dari Divisi Kejahatan Berat tiba-tiba menjadi terdakwa kasus pembunuhan kakaknya sendiri.
Bagaimana jika ia kembali dijebloskan ke penjara karena kasus penculikan? Jawabannya Soobin tidak peduli. Hidup bebas maupun dipenjara rasanya tidak ada bedanya, sama-sama memuakkan. Ia tidak punya siapapun sekarang, bahkan ayahnya, orang tua satu-satunya sudah tutup usia dua bulan yang lalu.
Ayahnya adalah satu-satunya orang yang percaya jika bukan Soobin yang membunuh kakaknya. Ayahnya jugalah yang selalu menjadi alasan Soobin bersikap baik di penjara agar bisa mendapatkan pengurangan masa tahanan. Namun ketika bebas, ia hanya punya kesempatan satu bulan hidup bersama ayahnya karena ayahnya sakit keras.
Baru saja Soobin memejamkan matanya, sayup terdengar suara tangisan dari arah kamar tempat Taehyun berada. Awalnya ia hanya ingin mengabaikannya namun tangisan itu tak kunjung reda. Berisik, Soobin tidak suka. Salahnya tidak menutup mulut Taehyun dengan lakban, seharian ini Soobin justru malah menikmati mendengar ocehan-ocehan yang keluar dari mulutnya.
Dengan perasaan kesal Soobin bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar Taehyun. Tangannya membawa sebuah lakban dan gunting, berniat ingin membekap mulut berisik itu. Saat membuka pintu, didapatinya Taehyun menangis sambil terduduk. Selimut yang menutupi kakinya ia remat dengan kuat, bahunya naik turun seirama isak tangisnya yang pilu.
"Kamu bisa diam tidak? Bukannya tidur malah menangis" tegur Soobin sesaat memasuki kamar. Taehyun mengangkat wajahnya, memperlihatkan lelehan airmata yang mengalir di pipinya, serta hidungnya yang memerah.
"Aku rindu ibu, aku tidak bisa tidur tanpa dipeluk dan dicium ibu"
"Merepotkan sekali, jangan manja, kamu itu anak laki-laki, usiamu sudah 14 tahun" omel Soobin sambil mencari ujung lakban untuk ditarik.
"Memangnya salah jika aku manja? Bagaimanapun aku tetap anak kecil di mata ibuku walau aku sudah dewasa sekalipun"
Soobin menarik lakban beberapa senti dan mengguntingnya, bersiap menempelkannya di mulut Taehyun.
"Daripada menutup mulutku dengan lakban, mengapa Om tidak memelukku saja sampai aku tertidur? Aku tidak akan berisik jika sudah terlelap, dan aku suka diperlakukan dengan lembut"
"Jangan bermimpi aku akan memelukmu, Bocah Manja"
"Kalau begitu elus rambutku saja, atau Om duduk saja di sampingku.. Aku mohon.. Aku benar-benar belum pernah tidur tanpa ibuku" Taehyun memohon dengan sungguh-sungguh, berharap Soobin akan luluh.
"Apa benar kamu sedekat itu dengan ibumu?"
Taehyun mengangguk.
"Tapi mengapa disaat kamu belum pulang, ibumu justru mengkhawatirkan ayahmu akan marah bukannya mengkhawatirkan keadaanmu? Apakah ayahmu akan memukulmu? Atau dia akan memukul ibumu?" tanya Soobin penuh selidik.
Taehyun menggeleng. Soobin mengernyitkan dahinya bingung.
"Ayah kalau marah justru hanya diam saja, mengunci dirinya di ruang kerja, lalu pergi bekerja keesokan harinya, lalu pulang dan mengunci dirinya lagi, terus begitu sampai amarahnya hilang"
"Aneh"
"Ayahku memang aneh"
"Bukan, maksudku ibumu aneh, ayahmu hanya marah begitu saja apa yang ditakutkan"
"Justru karena itu ibu takut, ibu takut kejadian ayah tidak keluar lagi dari ruang kerjanya terulang kembali"
"A-pa maksud-mu?"
"Ayah pernah mencoba bunuh diri, hanya karena aku bilang aku membencinya"
Soobin terdiam, masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Taehyun. Apa benar itu Choi Yeonjun? Choi Yeonjun yang ia kenal, Choi Yeonjun yang angkuh dan ambisius, Choi Yeonjun yang kasar, yang bahkan akan menghajar orang yang membuatnya kesal. Sekarang mengapa semua menjadi terasa tidak masuk akal bagi Soobin.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Dad ✔️ | Soobin, Taehyun
Fiksi PenggemarSoobin menculik Taehyun yang merupakan anak dari musuhnya, yaitu Yeonjun. Namun bukannya takut, Taehyun justru menemukan figure seorang ayah yang sangat ia rindukan ada pada diri Soobin. *Stockholm Syndrome *Father-Son Relationship *Brothership