After Break Up : 01

22 1 0
                                    

Mata ku terbuka. Aku terkejut, dengan seluruh badanku yang basah akan keringat dingin, nafasku terengah-engah. Aku memandang langit-langit kamar ini.

"Hanya mimpi," lirihku.

03.15 dini hari.

Mata ku mulai berair, aku menangis lagi, lagi dan lagi.

"Tama..."

"Sesak sekali, aku sulit bernafas,"

Tangisan ku semakin terisak-isak, aku tak mengerti akan diri ini, hanya rasanya sakit di dada, sesak tidak karuan.

Aku merindukannya, sangat namun sakit.

Aku bersusah payah meraih ponsel diatas meja samping kasurku. Aku menelpon Felix, manajerku.

Lama sekali dia menjawab atau aku yang tidak sadar bahwa aku menelponnya di subuh hari. Tapi aku seperti,

akan mati.

"Fe...lix, tolong aku."

Setelah itu aku pingsan tak sadarkan diri.

;

Flashback on.

Senja di sore hari benar-benar indah dan sangat memukau dipandang, apalagi memandangnya bersama sang pujaan hati.

"Tama kenapa mataharinya tidak kunjung tenggelam? Padahal ini sudah jam delapan belas," Ariana bertanya pada orang yang sedang menggandeng tangannya itu.

"Mungkin dia ingin mengiringi sesi jalan-jalan kita kali ini, hahaha," Tama tersenyum memandang Ariana.

Tama dan Ariana tengah berjalan-jalan santai di pinggiran jalan kota Paris dekat menara Eiffel yang megah ini. Mereka sudah berjalan-jalan dari jam 3 sore.

"Tama, kamu punya mantan kekasih?" Ariana membuka topik baru. Tama mengernyit keningnya, sedikit bingung dengan pertanyaan perempuan di sebelahnya barusan.

"Emm, punya." Tama menjawab dengan hati-hati.

"Siapa?" Nada bicara Ariana berubah lebih datar, dia melonggarkan genggaman tangan Tama.

"Adadeh kepo," Tama mencubit pipi Ariana.

"Kamu sendiri punya tidak?" kini Tama balik bertanya.

"Punya," jawab Ariana.

"Siapa?"

"Sean." Ucap Ariana tanpa ragu.

Tama hanya mengangguk. Dia juga sebenarnya sudah tahu bahwa Sean adalah mantan kekasih Ariana, karena perempuan itu pernah bercerita kepadanya. Tak seperti dirinya, Ariana tak menutupi apapun dari Tama.

"Kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?" tanya Ariana.

"Perempuan siapa?"

"Marcella," ujar Ariana penuh tekanan.

"Ohh dia," entah mengapa hanya itu tanggapan yang Tama bisa berikan. "Masih berhubungan ya?" Ariana melepas genggaman tangan Tama dan laki-laki itu tak menjawab pertanyaan tersebut.

Keheningan terjadi diantara mereka, suasana yang nyaman dan menyenangkan tadi hilang lenyap seketika karena obrolan yang sebenarnya tak berguna itu.

"Tama pulang yuk," ajak Ariana, dia sudah tak tahan dengan kecanggungan ini. "Ya sudah kita kembali ke parkiran." setuju Tama lalu mereka berjalan menuju parkiran mobil sekitaran menara Eiffel, mereka berjalan bersama dengan jarak yang begitu renggang.

"Ari kamu marah?" Tama melirik ke arah Ariana yang terus berjalan memandang ke depan dengan raut wajah datar.

"Tidak."

TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang