Dasar Gila!

48 4 0
                                    

“Apaan sih?” gumamnya tak sadar ketika baru saja sampai kamar. Sesaat setelah ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat, wajah itu kembali membayang di pelupuk matanya. Wajah dengan sepasang mata sendu penuh tanya, hidung bangir, dagu terbelah, dan seulas senyum tipis dari balik partisi kaca pesarean. Wajah yang ia dapati saat baru saja membuka mata. Sejak kapan cowok gila itu menatapnya?

 Ia hanya tak habis pikir dengan santri baru itu. Tidakkah dia terlalu berani? Dan apa tadi? dia bahkan melayangkan senyum dengan sorot mata yang menatap lekat ke arahnya. Membuatnya bergidik dan sedikit panik, hingga menyusut air matanya cepat-cepat. Untung saja sesi ziarah sudah saatnya berakhir, jadi dia bisa segera pulang dan jauh-jauh dari jangkauan lelaki itu. 

“Dasar santri gila,” gerutunya sambil meraup muka. Berharap bayangan tadi segera enyah. Tapi justru bayangan yang lain datang bersusul-susulan tanpa permisi. 

“I LOVE YOU.”

Suara lantang itu berdengung di telinganya, membuatnya tertegun sejenak di depan pintu kamar. Mengingat itu, membuat wajahnya seketika seperti dikerubuti hawa panas. Ia coba abai dan melangkah menuju meja rias saat ponsel yang ia letakkan di sana tampak berpendar. Tadi ia sengaja meninggalkan benda itu waktu memimpin para santri berziarah di pesarean Sunan Nirboyo. Ia yakin pasti sudah ada beberapa pesan di aplikasi whatsapp-nya. Tapi ....

“I LOVE YOU. MAU NGGAK JADI PACAR AKU?”

Arrrghhhh ... Ia tutup kedua daun telinganya rapat-rapat, berharap suara bersama wajah itu segera lenyap. Tapi percuma. Karena lagi dan lagi, insiden memalukan itu secara otomatis kembali terputar dalam benaknya. Termasuk ketika lelaki tak tahu diri itu tiba-tiba muncul di ruang tengah. 

 “Ma-maaf, Bu Nyai. Saya hanya memenuhi panggilan.”

“Tadi ... sampai beberapa kali. Salman ... my sweety come here. Salman, kalau dipanggil tuh jangan diem aja.”

Sampai di kalimat itu, secara tak sadar senyum geli terbit di bibirnya. “Sinting emang,” gumamnya sebelum menyadari sesuatu ... jika ... umpatan itu lebih terdengar seperti dia tengah mengatai dirinya sendiri. Ah, bukan ... bukan ... santri baru itulah yang sinting. Bertahun-tahun hidup di pesantren, baru kali ini ia bertemu dengan lelaki model seperti itu. Gila, tidak tahu malu, nekat, berani, dan ... sangat ... ganteng? 

Ah, apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Zoeya?

 “Astaghfirullah,” desahnya lirih dan segera berjalan menuju meja rias, menjangkau ponsel yang sejak tadi sudah merengek-rengek gaduh. Benar, ada beberapa chat yang masuk. Terutama dari grup SAEC. Tapi chat dari kontak bernama “My Iridessa” itu harus selalu ia prioritaskan. 

(Mbak tuh egois dan nggak berguna banget ya, Za, jadi istri). 

Segera ia mengetik sebuah balasan sambil menjatuhkan pantat di pinggir ranjang. Dahinya berkerut-kerut serius. 

Zaima Zoeya Maryam

(Kenapa lagi? Mbak didesak lagi? Bukan Mbak yang egois. Tapi mereka)

Chat langsung terbaca. Mungkin si My Iridessa memang sedang tak ada kerjaan, atau memang sedang butuh seseorang yang bisa mendengarkan segala keluh kesahnya. 

My Iridessa

(Nggak sih. Dia halus kok ngomongnya. Dia juga bilang kalau yang pertama itu nggak bakal tergantikan. Akan selalu mendapat porsi cinta yang lebih banyak)

Bagai Pungguk Menjerat BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang