Dengan kepercayaan diri penuh, Salman melangkah menuju gedung UKM bersama tiga temannya. Keputusannya sudah bulat, dia akan pindah UKM, dari Racana ke SAEC. Lagipula waktu demonstrasi UKM saat Ospek, dia tidak sungguh-sungguh mendaftar di Racana.
See, bahkan tadi teman-temannya meledeknya, karena menurut mereka UKM Kepramukaan dinilai tidak cocok untuknya. Sungguh sulit dimengerti. Mungkin mereka takut bingung akan memanggil Salman Pak Dokter apa Bapak Pramuka. Whatever, Salman memilih masa bodoh. Saat ini tidak ada yang lebih penting dari Bu Nyai Maryam.
Dia harus bertemu perempuan itu untuk menuntaskan rasa penasarannya. Mungkin jika di kampus, akan lebih leluasa, tidak ada perbedaan kasta yang mencolok seperti saat di pesantren. Mungkin jika di kampus, Nyai Maryam mau melihatnya sebagai seorang ... lelaki. Bukan anak ataupun santri.
(Kalau kamu bisa seperti Abah, mungkin bisa kupertimbangkan)
Arrrggghhh ... Ini benar-benar menganggu. Tidakkah jawaban itu begitu ambigu?
Salman memeriksa ponselnya. Pesan terakhir masih unread. Fix, dia harus bertemu langsung.
“Lo yakin mau pindah SAEC?” Zulham bertanya lagi sambil mensejajari langkah Salman. Sedang Aziel dan Edwin berjalan di belakang mereka.
“Yoi,” jawab Salman yakin.
Tak menunggu lama, mereka sudah berada di depan gedung UKM, karena letaknya memang berdekatan dengan Pumanisa.
Ibarat transportasi, gedung UKM ini adalah kereta api. Setiap gerbong adalah divisinya. Urut dari ujung timur ada UKM Racana, UKM MAPALA Argajaladri, UKM KSB – Es A yang bergerak di bidang seni dan budaya, UKM SAEC, dan UKM UPI. Sedangkan lantai dua ditempati UKM Bola Basket, UKM KSR-PMI, UKM Pencak Silat, dan UKM Tae Kwon Do.
Tatapan Salman memendar beberapa saat. Lalu terpaku pada tulisan “Sultan Ageng English Club” yang ada di atas pintu kaca salah satu ruangan di lantai bawah. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
“Jangan sampai lo bikin ulah di kampus!” ancam Zulham seperti tahu apa yang ada di otak teman absurdnya ini.
“Aaapa seeh? Enggak!” jawab Salman sambil berdecak. “Lo suudzon aja ama gue.”
“Ham, titip Salmon ya, gue ke UPI dulu. Jangan sampai dia gangguin Nyai Maryam,” ujar Aziel sebelum melangkah menuju kantor paling barat. Kekehan singkatnya membuat Zulham semakin jengkel.
“Aku juga, ke Arga dulu ya. Rukun-rukun kalean.”
“Yeee ... rukun islam kaleeee. Ed ... gara-gara lo nih,” sungut Zulham seraya menepis tepukan Edwin pada pundaknya. Lalu tinggallah Salman dan Zulham yang masih berdiri di halaman UKM, di tengah lalu lalang mahasiswa. Alih-alih segera masuk, mereka malah berdebat. Mengiringi canda tawa para mahasiswa yang nongkrong di sekitar selasar UKM. Asap rokok menguar, berpadu dengan petikan gitar. Suara-suara sumbang terdengar bersahut-sahutan.
“Beneran ya, jangan sampai lo bikin gue malu. Lo nggak ada niat ngedeketin Nyai Maryam lewat jalur organisasi, kan?” Zulham jelas khawatir, karena dia tahu betul motif Salman pindah ke SAEC—yakni sejak mendengar nama Nyai Maryam ada di jajaran pengurus UKM Bahasa Inggris itu.
“Lo tenang aja, Ham. Gue cuma pengen mastiin sesuatu. Lo minta apa aja gue jabanin, asal lo bantu gue.” Salman melirik Zulham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagai Pungguk Menjerat Bulan
RomansaTentang seorang santri bernama Salman Al-Farisi dalam pencarian cinta dan jati diri. --- Gak kenal maka tak sayang. Jadi, dibaca dulu aja biar tahu kejutan demi kejutan dalam cerita ini