“Darimana?” Pertanyaan basa basi itu keluar dari lelaki bermuka petak dan bermata dalam yang duduk di pojok ruangan.
“Biasa ... mancing,” jawab lelaki gempal yang baru saja masuk ke kantor pengurus.
Menjelang sore, ruangan berukuran 4x5 meter itu cukup padat. Beberapa pengurus yang sudah tidak ada kuliah akan memilih berdiam diri di kantor untuk sekedar mengerjakan apa saja terkait program pesantren yang mereka susun di awal tahun. Seperti saat ini. Ada Ferdy, Rois pesantren yang fokus mengetik di depan komputer, Awan, sang ketua keamanan dibantu Husni merapikan buku catatan pelanggaran, dan Zaki, si bendahara yang sibuk dengan keuangan pesantren, seperti menyiapkan bisyaroh bagi para asatidz luar yang diminta membantu mengajar di Al-Mukmin.
“Mancing? Dimana?” tanya lelaki yang membantu mengurus catatan pelanggaran lagi.
“Di selokan,” jawab lelaki gempal asal.
“Emang ada ikan?”
Yang lain masih fokus dengan pekerjaan masing-masing sampai jawaban selanjutnya terlontar.
“Ada. Ikan langka malah. Salmon.”
Hah? Mana ada ikan salmon di Nirboyo Semarang? Salmon jadi-jadian mungkin. Spontan seisi kantor serempak menoleh. Awan geleng-geleng sebelum kembali fokus pada buku pelanggaran. Ferdy berdecak tak percaya, lalu kembali mengetik dengan khusyuk. Sedang Husni tertawa lebar, menyambut lelucon Rif’al. Karena sejak tadi dia yang kepo. “Si bocah gemblung ngapain lagi?” tanyanya setelah paham arah jawaban Rif’al.
“Mosok mau main suap. Emang udah sinting tuh anak. Dia mau ngasih aku I-phone kalau aku bocorin nomor hape Bu Nyai Maryam. Kayak punya duit banyak aja,” ujarnya sebelum menjatuhkan pantat di sisi Husni. Dia duduk bersila sambil mengusap-usap rambutnya yang masih basah dengan handuk.
“Wuih busyeeet ... I-phone? Terus kamu kasih nomornya Bu Nyai?” tanya Husni dengan suara meninggi. Tak pelak itu memancing penasaran dari penghuni kantor yang lain, termasuk Awan—yang meski wajahnya akan selalu datar dan kaku saat merespon apapun, pada hal mengejutkan sekalipun.
Satu detik ... dua detik ... tiga detik, belum ada jawaban. Rif’al seperti menikmati momen penasaran teman-temannya. Lelaki itu sengaja mengulur waktu agar jawaban yang akan ia berikan terdengar lebih mendramatisir. Sesaat seringaian kecil terbit di bibirnya sebelum jawaban itu terlontar. “Ya iyalah ....” Ia jeda lagi beberapa saat sampai Husni tampak gergetan. Baru ia lanjut, “ ... tak kasih, emang aku bego?” Lalu ia terkekeh-kekeh sendiri melihat teman-temannnya melongo beberapa saat.
“Aku kasih dia nomornya Abah. Mampus! Hahaha.”
Awan kembali geleng-geleng. Dahi Ferdy berkerut-kerut. Hanya Husni yang sedari tadi terlihat antusias dan nyambung dengan Rif’al. Lelaki itu bahkan tertawa terbahak-bahak hingga hampir terjengkang.
“Catet, Kang! Nambah narapidana lagi hari ini kita. Masuk kasus suap menyuap,” ucap Rif’al jumawa sambil mengacungkan telunjuknnya pada buku yang dipegang Awan.
“Oke,” sahut Awan.
“Kok nomornya Abah to, Kang. Kalau anak itu nekat nge-chat Abah yang enggak-enggak gimana? Tambah perkara nanti.” Ferdy yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. Wajahnya melongok dari balik komputer. Sejenak tawa Rif’al dan Husni surut. Mereka saling pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagai Pungguk Menjerat Bulan
Roman d'amourTentang seorang santri bernama Salman Al-Farisi dalam pencarian cinta dan jati diri. --- Gak kenal maka tak sayang. Jadi, dibaca dulu aja biar tahu kejutan demi kejutan dalam cerita ini