Salman tak berhenti tersenyum sejak kembali dari kegiatannya memberi makan kucing hingga keluar dari gedung fakultas kedokteran. Beruntung tak ada satupun yang menegur dan mengatainya gila.
Seperti handphone dengan full battery setelah di charge, semangatnya meluap-luap hingga tak bisa berpikir apapun selain ... bagaimana cara mendapatkan nomor ponsel, akun IG, atau media sosial Nyai Maryam yang lain.
Segala kontak dengan lawan jenis sangat dibatasi di pesantren, apalagi dengan Bu Nyai-nya itu. Jadi dia harus memikirkan cara yang aman untuk bisa pedekate. Baginya senyum Nyai Maryam tadi saat di balkon adalah sinyal. Pertanda lampu kuning telah menyala.
Ah, apakah seperti ini benar? Tidakkah dosa menyukai istri orang? Apalagi itu istri dari Kiai-nya sendiri?
Salman sempat bertanya-tanya. Tapi ia tetap tidak menemukan jawaban yang tepat. Karena di matanya, Nyai Maryam sama sekali tidak terlihat seperti istri dari Abah Thoyfur, melainkan putrinya.
Terserah kau saja lah, Man.
“Hari ini kalian semua gue traktir,” ucap Salman saat baru saja bergabung di meja yang ditempati Edwin, Aziel, dan Zulham. Mereka sepakat untuk bertemu di Pumanisa setelah selesai kuliah. Kebetulan mereka sama-sama tidak ada jadwal kuliah sore. Zulham, lelaki bermata sipit itu mahasiswa hukum, Aziel anak Tarbiyah, sedangkan Edwin ekonomi.
“Wah, ada apa nih?” tanya Aziel sumringah.
Perayaan karena tadi disenyumin Nyai Maryam dan berhasil dapetin nomor handphone-nya. Salman hanya menyimpan jawaban itu dalam hati. Ia menyeringai kecil saat mengingat kembali aksi heroiknya dalam mendapatkan nomor Nyai Maryam. Tepat saat dia kembali dari kegiatan memberi makan kucing, langkahnya terhenti sewaktu melihat Rif’al sedang membersihkan selokan.
Salman berani meminta nomor Nyai Maryam pada lelaki itu karena dalam pengamatannya, Rif’al tidak seseram pengurus keamanan yang lain. Lelaki itu juga yang kemarin paling semangat mengerjainya ketika Nyai Maryam memanggil-manggil kucing kesayangannya.
“Kang, kalau izin mau pulang gitu ke siapa sih?” tanya Salman berbasa-basi.
“Ke Nyai Maryam atau Abah,” jawab Rif’al santai sambil menggoyang-goyangkan garpu besi raksasa ke dalam sekolan hitam dan bau. Salman spontan menutup hidungnya untuk menghalau aroma busuk yang menguar.
“Langsung ke ndalem ya?”
“Iya lah.”
“Kalau misal nggak sempet menghadap gitu gimana?” tanya Salman. Ia merasa pancingannya akan segera berhasil.
“Ape lo? Lo mau coba-coba minta nomornya Bu Nyai Maryam? Biar bisa chattingan sama Bu Nyai? Jangan nyari gara-gara! Kalau mau izin langsung menghadap aja. Lagian santri baru belum diperbolehkan pulang sampai empat puluh satu hari,” geram Rif’al. Dengan kekuatan penuh ia angkat sampah yang sudah terjerat di gerigi seroknya, lalu mengumpulkannya bersama yang lain hingga menyerupai gundukan.
Ah, ternyata Rif’al tidak sebodoh yang ia kira.
“Suudzon aja sih, Kang. Aku nggak bakalan macam-macam kok. Ya kali aja nanti ada hal mendesak gitu yang nggak memungkinkan bertemu langsung,” kelit Salman. Hmmm... Masuk akal juga. Tapi Rif’al tetap diam dan teguh pada pendirian untuk tidak temakan rayuan Salman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagai Pungguk Menjerat Bulan
RomanceTentang seorang santri bernama Salman Al-Farisi dalam pencarian cinta dan jati diri. --- Gak kenal maka tak sayang. Jadi, dibaca dulu aja biar tahu kejutan demi kejutan dalam cerita ini