Sama Berarti Jodoh?

60 8 1
                                    

“Salmaaan ... come on. Kamu ngapain sih?”

Fix, suara itu semakin membuat Salman ge-er. Ditambah provokasi dari sana sini membuatnya ingin mengangkat pantat dan memenuhi panggilan itu sesegera mungkin. Tapi ia sempat ragu saat meneliti ekspresi wajah para pengurus bagian keamanan, Kang Frans, Kang Husni, dan Kang Rif’al. Ada senyum berbau mengejek di wajah ketiga lelaki ini. Hanya Kang Awan yang terlihat netral. Dia kembali ke jati dirinya yang asli, kulkas dua pintu. 

“Apa sih, Kang?” Salman menoleh dengan bersungut saat Kang Rif’al mendorong punggungnya. Lelaki berkacamata tebal itu terdengar menggumam-gumam tak jelas. 

“Lha itu loh kamu dipanggil,” cetus Kang Rif’al dengan mengulum senyum. “Kayaknya Ummah juga kesengsem sama kamu,” imbuhnya, meruntuhkan satu lapisan pertahanan Salman.

“Santri yang baik itu cepat tanggap kalau dapat panggilan. Apalagi yang manggil Bu Nyai dan Kiai,” sambung Kang Frans semakin menipiskan lapisan pertahanan Salman. Kang Awan geleng-geleng melihat kelakuan teman-temannya. 

“Bukan aku itu,” jawab Salman waspada. 

Jangan mau diperdaya lagi sama senior, Man. Bisa jadi kan, Bu Nyai Maryam cuma nguji keimanan kamu, seperti Siti Zulaikhah menggoda Nabi Yusuf. Sisi lain hatinya menceramahi. 

“Salmaaan ... kalau dipanggil tuh jangan diem aja. Kamu sakit ya?”

Lagi. Suara itu terdengar. Seketika semua lapisan pertahanan Salman runtuh. Hanyut terbawa arus. Degup jantungnya seperti berlomba. Rasanya semua darahnya berkumpul di dada dan membeku beberapa saat. Dia yakin memang dialah yang dipanggil Bu Nyai Maryam. Bu Nyai Maryam mungkin sudah tahu kalau dia sedari tadi menunggu di ruang tamu bersama para pengurus bagian keamanan. Bukankah malam ini Nyai Maryam memang memanggil mereka untuk mengusut kasus tadi sore? Dan oke, Salman sadar, dia tidak setegar dan sekuat Nabi Yusuf. Dia hanya santri baru yang sedang berada di fase pekan ta’aruf. 

“Cepetan, Mon. Ini kesempatan untuk lebih dekat dengan Bu Nyai.” Bujuk rayu Frans terdengar seperti suara setan yang pernah menggoda Nabi Adam dan Siti Hawa. Begitu sulit diabaikan. 

Salman meraup mukanya yang terasa panas. Ia hembuskan napas kuat-kuat dari mulut. 

“Gimana kalau bukan aku yang dipanggil?” tanyanya dengan sisa-sisa keraguan yang sudah setipis kertas. 

“Siapa lagi disini yang namanya Salman? Elu, ‘kan?” tegas Husni, lelaki kurus, bermata dalam dan bermuka petak. 

Salman menatap lagi gorden yang tampak sedang melambai-lambai ke arahnya, sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju sumber suara yang sejak tadi menganggunya. Ia masih dengar suara kikikan tertahan dari belakangnya. Tapi ia memilih masa bodoh untuk terus melangkahkan kaki. Bismillah ... ia singkap gorden, lalu ....

“Iya, Bu Nyai ... I am com ... ing.”

Salman hampir tak bisa meneruskan ucapannya saat sepotong wajah pucat dengan mata membeliak kaget sedang terpaku ke arahnya. Dia pun terpaku hingga hampir tak bisa bernapas saat berdiri begitu dekat dengan sosok paduan Natasha Wilona dan Seo Ye Ji ini. Betapa indahnya ciptaan-Mu, Ya Allah. Salman merasa tubuhnya berubah kaku. Dia hanya bisa termangu saat suara bak halilintar itu serasa seperti air comberan yang langsung dituangkan ke mukanya.

 “KAMU? NGAPAIN KESINI? KURANG AJAR EMANG. SANTRI NGGAK PUNYA ADAB!” 

Nyai Maryam menunjuk-nunjuk Salman murka.

Bagai Pungguk Menjerat BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang