Akhirnya, setelah insiden itu, Salman menemukan alasan untuk bertahan hidup di pesantren. Apalagi kalau bukan karena Bu Nyai Maryam—perempuan pemilik kecantikan di atas rata-rata.
Bahkan mungkin setiap inchi darinya adalah dambaan setiap wanita. Body S-line, wajah V-line, kulit seputih kapas, mata bulat dengan dua lipatan kelopak mata, hidung tinggi tapi kecil, kening yang agak menonjol dan bibir merah alami. Sepertinya standar kecantikan para Ratu Joseon sudah diborong dia semua.
Bagaimana Salman, atau mungkin santri cowok lainnya tidak tertawan? Mereka bungkam hanya tidak berani saja karena Bu Nyai Maryam adalah istri dari Kiai mereka. Sekali pun istri kedua, Bu Nyai Maryam adalah perempuan yang harus mereka hormati dan patuhi.
Awalnya Salman sempat berontak karena merasa tidak adil, mengingat kakak lelakinya ....
“Kak Yujin dulu nggak masuk pesantren, kenapa sekarang aku dimasukkan ke pesantren?”
Masih lekat dalam ingatan Salman, perdebatan dengan Mommy-nya di malam sebelum berangkat ke pesantren Al-Mukmin. Sebenarnya tidak hanya malam itu, tapi hampir setiap hari perdebatan demi perdebatan mewarnai hari-hari Salman. Bahkan sejak ia masih duduk di bangku SMP dan SMA, Mommy-nya sudah berniat memasukkannya ke pesantren. Berbagai referensi ditawarkan. Mulai dari Assalam Solo, Darussalam Gontor, Darul Quran milik Yusuf Mansyur, Mathaliul Falah Kajen, hingga Lirboyo. Tapi jawaban Salman tetap sama. “Mommy mau buang aku ya? Kenapa nggak sekalian dibuang ke panti asuhan aja?”
Nah kan, itu bibir memang perlu diplester.
“Risi, banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa Kak Yujin nggak dimasukkan pesantren. Salah satunya Kak Yujin kan gampang sakit, jadi ....”
“Jadi karena aku jarang sakit, aku yang harus mondok? Ya udah, aku tak sakit-sakitan aja,” potong Salman dengan muka rusuh. Ia meremas-remas jarinya kalut. Ada rasa nyeri yang bersekutu di dadanya.
“Kok gitu? Sehat itu adalah rezeki paling utama kok, malah—”
“Ngebet banget emang Mommy mau buang aku. Kenapa nggak dibuang ke panti asuhan aja?” Dan jawaban klise itu meluncur lagi. Tapi Mommy sudah terbiasa kok. Jadi, dia hanya tersenyum dan melontarkan respon yang sama juga. “Kamu bukan yatim piatu, kenapa harus dimasukkan ke panti asuhan? Mommy cuma pengen punya anak yang tahu agama. Kalau Kak Yujin nggak sakit-sakitan, dia juga pengen masuk ke pesantren. Buktinya sekarang juga mau ikut ngurus pesantren sekaligus perusahaan Opa.”
“Kalau aku nggak mau, Mommy mau apa?”
Perempuan paruh baya yang duduk di sampingnya terdiam, mencoba memberi jeda sebelum kembali melancarkan bujuk rayunya. Dia tidak mau menyerah kali ini.
“Risi, ini adalah amanah Opa. Salah satu cicitnya ada yang menguasai ilmu agama dan bisa menjadi pemimpin ....”
“Aku nggak mau. Kan aku udah bilang kalau aku pengen jadi dokter kayak Mommy.” Lagi, Salman memotong ucapan Mommy-nya. Ya, bagi Salman, Mommy adalah role modelnya. Sedari kecil dia sangat mengagumi bagaimana Mommy-nya mengenakan sneli dan scrub, memainkan jarum suntik dan pisau bedah, bagaimana Mommy-nya berperang di kamar operasi, dan melayani pasien di IGD. Semuanya membuat Salman terpukau. Sehingga ia bertekad kelak ingin menjadi seperti Mommy-nya. Dan tekad itu semakin kuat saat tahu berkat orang-orang seperti Mommy-nya, Daddy-nya bisa bertahan hingga sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagai Pungguk Menjerat Bulan
RomanceTentang seorang santri bernama Salman Al-Farisi dalam pencarian cinta dan jati diri. --- Gak kenal maka tak sayang. Jadi, dibaca dulu aja biar tahu kejutan demi kejutan dalam cerita ini