Sesama Salman Harus Rukun

40 6 2
                                    

“Jadi orang tuamu juga terinspirasi dengan tokoh Salman Al-Farisi?” Tanya Abah Thoyfur setelah menjelaskan alasan kenapa kucing Nyai Maryam punya kesamaan nama dengannya.

“I … ya, Yai. Mommy saya nge-fans dengan Salman Al-Farisi,” jawab Salman jujur. Abah Thoyfur manggut-manggut.

“Salman Al-Farisi itu hebat banget. Dia punya pengalaman yang sangat luas tentang teknik dan sarana perang. Dia pencetus penggalian parit perlindungan daerah terbuka di sekeliling kota Madinah saat terjadi perang khandaq. Sehingga adanya parit itu para Quraisy tidak bisa menerobos kota begitu saja dan gagal menyerang Rasulullah. Mommy ngefans orang yang pintar bersiasat seperti Salman.” Salman tiba-tiba teringat lagi penjelasan Mommy-nya. Dia yakin, Nyai Maryam juga punya alasan yang sama dengan Mommy-nya, yaitu ngefans dengan orang yang pintar bersiasat seperti Salman Al-Farisi.

Salman Al-Farisi yang ini juga pintar bersiasat kok. Siasat dalam mencari perhatian.  Buktinya sekarang ekor matanya terus saja mencuri pandang ke arah perempuan yang kini fokus pada layar handphone. Sulit memang mengabaikan sekejap saja pesona Nyai Maryam. Dan anehnya, setiap kali Salman melirik, detik selanjutnya, Nyai Maryam juga menatapnya. Seolah-olah ada magnet di antara keduanya. Bloody hell, jangan sampai ada Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha part dua ya?

“Jadi gimana tadi?” tanya Yai Thoyfur. Salman yang tadinya terbengong karena terjebak oleh tatap tak sengaja dengan Nyai Maryam, langsung mengerjap. “Gimana … gimana, Yai?”

Abah Yai terkekeh. Nyai Maryam geleng-geleng. Berusaha masa bodoh dengan pertanyaan santai Yai Thoyfur dan kedunguan Salman. Dia kembali menatap ponselnya dan tampak mengetikkan sesuatu di sana. Tapi perhatiannya segera teralihkan saat seekor kucing masuk dari arah pintu yang terletak di pojok ruangan. Kucing berbulu lebat warna abu dan hitam yang sempat membuat Salman salah paham itu kembali menghampiri majikannya.

“Hey, Salmaaan,” sapa Nyai Maryam pada kucingnya. Tapi saat ini tidak hanya hewan peliharaannya yang merasa terpanggil. Melainkan ....

“Bukan Salman kamu!” sentak Nyai Maryam pada Salman. Lelaki itu kembali menunduk. Ingin rasanya ia mengumpat, “Anjiiiir.”

“Yang tadi sore itu. Kamu kok berani nembak Zoeya?” tanya Abah Thoyfur membuat Salman kembali fokus pada percakapan.

“Zoeya?”  Dahi Salman mengernyit.

“Itu … Zoeya Maryam.” Abah Thoyfur menunjuk Nyai Maryam dengan dagunya sebelum kembali menatap Salman.

“Oh, em ….” Zoeya? Bagus sekali namanya. Salman reflek menatap iri pada kembarannya yang kini bergelayut manja di pangkuan Nyai Maryam. Betapa beruntungnya kucing berbulu hitam itu. Kanapa bukan Salman yang berkemeja hitam saja yang dielus?

“Saya hanya menjalankan tantangan MOS, Yai, Bah,” jawab Salman sesuai fakta. Awalnya. Karena selanjutnya tiba-tiba saja dia merasa tidak sedang menjalani tantangan. Melainkan apa yang dilakukannya tadi sore seolah murni sebuah panggilan jiwa, akibat efek dari rasa kagum yang berlebihan sejak objeknya adalah Nyai Maryam.

“Oh, tantangan MOS?” Tanya Abah Thoyfur.

“Iya, Yai.” Lalu melirik lagi kea rah Nyai Maryam.

“Mana pengurus yang lain? Mereka juga bertanggun jawab menjelaskan insiden tadi sore,” sambar Nyai Maryam dengan nada ketus. Pasang matanya yang sekilas menyorot wajah Salman serasa seperti sebilah pedang yang terayun ke udara dengan cepat. Aduh. Sakit. Nyeri.

“Itu di ruang tamu, Nya … i.” Ronggeng. Salman hanya meneruskannya dalam hati. Entah mengapa ada rasa tak rela saat menyebut julukan itu. Di matanya, Nyai Maryam  amat sangat belum pantas mendapat gelar tersebut. Dia seharusnya masih dipanggil “Dek.” Dedek Maryam. Dedek Zoeya. Wow, kiwoyo.

Bagai Pungguk Menjerat BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang