Kala rasa sedihnya telah hilang digantikan dengan senyum cerah itu kembali, aku bersumpah akan menjaga senyum itu terpasang di bibir itu untuk selamanya.
***
Allena menenteng laptopnya sembari sesekali melirik jalan raya yang masih terasa sepi itu, ia berniat berjalan-jalan ke taman untuk mencari ide bahan tulisan karya barunya.
Namun, sahabatnya Lisa baru saja mengabari bahwa ia ingin bertemu di kafe dekat rumah Allena, jadi karena Allena senggang dan ia juga lumayan rindu dengan sahabatnya itu, Allena pun menyetujui untuk bertemu dengan Lisa.
Sudah lama ia tak berjumpa dengan sahabat kecilnya itu, terakhir mereka bertemu sekitar 6 bulan lalu saat kepindahan mendadak Lisa ke negara China untuk mengikuti pemindahan kerja Ayahnya di sana.
Sesampainya di kafe, Allena mendapati sahabatnya itu tengah asik mengobrol bersama sahabat mereka yang lain. Terlihat di sana ada Yana dan Ayla yang mungkin baru datang juga.
“Len!” seruan semangat itu bersumber dari mulut Lisa. Sahabatnya yang satu itu bila semangat akan berteriak kencang tanpa sadar.
Allena juga melihat Yana dan Ayla melambaikan tangan kepadanya. Tentu saja, Allena balas dengan lambaian tangan juga.
“Uiii, ibu penulis kita, nih. Harusnya Lena datang disambut karpet merah, ya 'kan?” Candaan Ayla sukses membuat tawa lepas Yana terdengar. Bahkan, gadis pecinta lelaki fiksi itu sampai memukul-mukul pundak Lisa, saking semangatnya tertawa.
Hingga Allena duduk pun Yana masih saja tertawa, sampai akhirnya ia berhenti sebab ditegur oleh Lisa.
“By the way, Len. Dari dulu sampe sekarang lo bawa itu laptop kemana-mana, gak berat apa?” Lisa bertanya pada Allena ketika ia tanpa sengaja melihat gadis itu membawa kembali laptopnya. Bukan tanpa alasan Lisa bertanya seperti itu, sebab dari semasa mereka masih awal SMA dulu kala Allena masih pemula dalam hal tulis menulis, ia selalu saja membawa laptop itu kemana pun dirinya berada. Sampai Lisa kesal sendiri melihatnya, apa tidak berat membawa perangkat elektronik itu terus kemana-mana.
“Gak tuh, biasa aja.” Allena menjawab sesingkat mungkin pertanyaan sahabatnya.
Tak perlu ditanya mengapa, sebab sudah begitu dari dulu sifatnya. Allena tidak berubah sama sekali, selalu saja cuek terhadap orang di sekitarnya. Bahkan, hal ini jugalah yang menyebabkan gadis berparas imut itu tak kunjung mendapatkan pacar, padahal jika dia mau membuka hatinya sedikit saja pasti sudah banyak pemuda yang rela mengantri untuk menjadi kekasihnya.
“Terserah Lo aja deh, Len. Cape sendiri gue ngomong sama Lo.” Lisa mendengus pelan tangannya mencomot asal minuman yang tersodor di atas meja, entah milik siapa minuman itu.
Ayla melirik minuman miliknya yang ambil oleh Lisa, namun ia tak mencegah Lisa mengambilnya. Ayla justru mengalihkan tatapannya pada Allena. “Katanya Lo lagi nulis buku, ya? Gimana? Udah jadi belum?”
Allena melirik Ayla sebentar seraya membuka laptop kesayangannya itu, “Udah, lagi proses revisi,” tuturnya.
“Wih, kali ini cerita apalagi yang Lo buat?” Yana menuturkan rasa penasarannya, merasa tertarik dengan pembicaraan Allena dan Ayla.
“Genre nya Transmigrasi.” Yana menganggukkan kepalanya paham, ia juga cukup tertarik dengan cerita fantasi tentang perpindahan jiwa itu.
“Hah, Transmigrasi? Perpindahan penduduk dari daerah kecil ke daerah yang lebih luas itu. Gak elite banget cerita Lo, Len. Orang mah bikinnya tuh cerita tentang geng motor, mafia, atau apa kek. Lah, Lo malah buat yang begitu.”
Allena memutar bola matanya malas mendengar perkataan Lisa, merasa heran dengan dirinya sendiri yang mau saja berteman dengan orang sebodoh Lisa. Sementara Yana justru ingin tertawa kencang lagi, namun urung kala melihat Ayla yang sepertinya sudah akan menegurnya.
“Bukan transmigrasi yang itu, Lisa. Yang dimaksud Allena itu transmigrasi yang artinya perpindahan jiwa,” tutur Ayla. Mencoba menjelaskan dengan lembut kepada sahabatnya.
“Hah, kok bisa gitu?” Lisa mengernyit dahinya heran. Setahunya, transmigrasi itu perpindahan penduduk, bukan perpindahan jiwa seperti yang dimaksud Ayla. Di sini, dirinya yang bodoh atau pengertiannya memang sudah berubah?
“Ya, bisa lah. Di dunia perwetpetan, apa pun bisa dilakukan dan diubah.” Yana dengan santai menimpali ucapan Ayla, menghiraukan sahabatnya yang bertambah tak paham dengan maksud dari perkataan mereka.
“Lo masih baca komik, kan?” Walau tak paham mengapa Allena menanyakan hal ini disaat ia tengah dilanda rasa penasaran yang tinggi, Lisa tetap menjawab pertanyaan Allena dengan anggukan pelan.
“Iya, emangnya kenapa ?” tanyanya.
“Lo pasti tau kan, di cerita komik biasanya ada MC yang pindah ke dunia atau dimensi lain lalu jiwanya masuk ke tubuh orang lain yang ada di dunia itu, nah hal itu disebut dengan fenomena transmigrasi.”
“Lah, isekai itu namanya.”
“Sama aja, bambang,” celetuk Yana.
“Kalo menurut gue sih beda, ya. Soalnya kalo isekai itu biasanya pindah dimensi atau dunia dengan menggunakan tubuh aslinya dan biasanya karakter MC nya itu kuat serta over power. Sedangkan transmigrasi itu pindah dimensi atau dunia tanpa membawa tubuh aslinya dan kebanyakan para MC nya enggak terlalu over power, genre ceritanya juga kebanyakan romantis.”
Allena menjelaskan sudut pandangannya tentang apa fenomena transmigrasi itu sendiri. Lisa akhirnya mengerti setelah mendengar penjelasan singkat Allena.
Mereka kemudian mengobrol panjang sembari mengenang masa lalu ketika mereka masih satu sekolah dulu. Hingga salah satu dari mereka mulai menujukkan tanda-tanda akan pergi.
“Gue balik. Udah sore.” Melihat Allena yang beranjak dari kursinya membuat ketiga sahabatnya merasa tak rela. Entahlah, perasaan mereka juga menjadi tak enak. Seakan mereka akan ditinggalkan oleh gadis itu selamanya. Bahkan, untuk terakhir kalinya gadis itu tak menengok sedikitpun ke arah mereka.
***
Allena kembali menenteng tas laptopnya di tangan kanan. Berjalan menjauh dari kafe itu, niatnya untuk kembali ke rumah. Rasanya ingin sekali melempar tubuhnya ke atas kasur empuk miliknya. Namun, apa daya jika dirinya harus berjalan kaki terlebih dahulu untuk bisa kembali sampai ke rumah serta kamarnya.
Tungkai kakinya bergerak dengan cepat sedikit berlari, sampai...
“Maaf,” kata itu terlontar begitu saja kala ia tanpa sengaja menabrak seorang pria.
Hal itu tentu saja karena kesalahannya yang saking ingin cepatnya pulang ke rumah sampai harus berlari dan tanpa sengaja menabrak tubuh seseorang. Untung saja pria itu bukan orang yang cerewet dan tempramental sehingga tak memarahinya.
Allena merutuki dirinya sendiri. Merasa bodoh, entah mengapa.
Sampai akhirnya Allena kembali fokus menatap ke depan, menunggu lampu berwarna merah itu menyala agar ia bisa segera menyeberang jalan. Lampu merah pun menyala menandakan waktu untuk pejalan kaki sepertinya untuk menyeberang.
Allena menyeberang sembari terus fokus ke depan. Namun, tanpa ia duga sebuah mobil putih kini tengah melaju kencang ke arahnya, mobil putih itu terlihat oleng ke samping sampai akhirnya mobil itu menabrak tubuh ringkih Allena.
Sayup-sayup gadis yang kini berlumur darah itu mendengar suara yang tak dikenali mengerang kesakitan di sebelahnya. Ia mencoba menengok ke sumber suara, namun matanya sudah lebih dulu terpejam, menandakan bahwa mungkin saja ia sudah tidak ada lagi di dunia.
“Sessssttt sakit banget. Lena ngantuk bunda.”
~o0o~
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLENA
Teen FictionBagaimana jadinya jika jiwa seorang penulis novel romantis berpindah ke raga figuran dalam novel karyanya? Allena mati dalam perjalanan menemui sahabat lamanya. Ia berpindah jiwa ke raga seorang karakter figuran dalam novel karyanya dan masalah ter...