Bagian 2: Haris

4 1 0
                                    

Klaten, 4 Maret 1992

"Sad!" Teriakan itu lantas membuat Sadha tak bisa menolak untuk sekedar menoleh. "Saka ngendi? Ora ngampus ta? (dari mana? enggak ngampus ya?)"

Sadha terkekeh. "Iki, Har. Pusing nyusun skripsi. (Ini, Har.)"

Obrolan itu terjadi antara Sadha dan Haris, teman kuliahnya di program studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Sadha dan Haris sering menggunakan bus untuk mobilitas mereka menuju kampus, kebetulan tempat Sadha berjalan sekarang tidak jauh dari halte bus yang kemungkinan menjadi tempat Haris memberhentikan perjalanannya.

Berbicara tentang mereka berdua, keduanya sama-sama sedang berada pada masa-masa akhir perkuliahan. Sadha yang sibuk dengan skripsinya dan Haris yang masih harus mengulang beberapa mata kuliah wajib agar dapat memperbaiki nilai yang menurutnya kurang memuaskan. Keduanya sama-sama sedang berproses menuju target masing-masing.

"Ora tau dolan ta, koe? (Ngga pernah main ya, kamu?)"

Sadha tersenyum. "Sebenarnya pengen, Har. Tapi kampus gak ada kegiatan yo, akhir-akhir ini?"

"Aku mau ketemu anak-anak PKKMB sih, Sad. Lumayan, siapa tau bisa ketemu maba-maba cantik."

Sadha tersenyum sambil menggeleng. "Lulus sek, Har. Wes umur tuo iki. (Lulus dulu, Har. Udah umur tua ini.)"

Haris tertawa. "Justru kamu itu yang aneh. Orang kok gak pernah mikir cinta. Masih stuck sama yang lalu apa?"

Sadha terkekeh. "Mau kemana kamu?"

"Mau pulang, tapi males. Ngopi yuk, Sad." Kata Haris. "Tak jajakne wes. Aku tau kamu gak punya uang kan?(Aku traktir deh)" Sahut Haris sambil tertawa, disusul dengan Sadha yang menyenggol bahunya sambil tertawa. Tak ada penolakan darinya.

***

Sadha dan Haris duduk meminum kopi kesukaan mereka. Sadha suka kopi hitam, sedang Haris masih setia dengan kopi susunya.

"Gimana adik-adikmu?" Haris memulai pembicaraan.

"Ya, masih pada sekolah, Har."

Haris mengangguk-angguk. "Udah gak ada masalah lagi?"

Sadha terkekeh. "Emang sejak kapan masalah bisa ilang, Har?"

Haris tertawa. "Kamu masih kerja serabutan?"

Sadha mengangguk. "Kalau gak gitu, aku dan adik-adikku susah biar uang sekolah cukup."

Haris memandangi wajah temannya itu lekat. "Aku salut sama kamu dan masmu. Cari uang kesana kesini biar nyekolahin 4 adik-adikmu. Aku kalau jadi kamu, gak kuat Sad!"

Sadha diam. "Biasa aja. Aku kan cowok, Har."

"Cowok sakti."

Keduanya tertawa. "Aku mumet nyusun skripsi."

"Sad, kalau boleh ngomong nih, kamu di kelas kan pinter, udah kaya dokter yang ngajarin mahasiswanya. Ngapain pusing?"

"Yeh, namanya pusing ya pusing."

"Jangan pusing lah, dokter Safri Sadhana."

Deg. Perkataan itu seketika menimbulkan perasaan tak enak menyeruak dalam hati Sadha. Perasaan yang pernah dia rasakan sebelumnya, tentang mimpi yang pernah melambung tinggi namun mustahil untuk dicapai. Mimpinya tentang menjadi dokter, mimpi yang harus ia kubur dalam-dalam karena satu dan lain hal yang menghambat dirinya hingga akhirnya sekarang berkutat dengan ilmu keguruan biologi. Sebuah doa kemudian terlintas di kepala Sadha; nanti anakku yang jadi dokter, Har.

Percakapan Sadha dan Haris berjalan baik. Keduanya saling berbagi cerita mengenai kehidupannya. Tentu saja seringkali diiringi canda dan tawa.

"Kasih aku kerjaan, Har."

"Lho, kok malah jadi interview iki?"

Sadha terkekeh kecil. "Kerjaan apapun aku mau, Har."

Sadha terdiam sebentar sambil memikirkan sesuatu. "Aku lagi banyak tugas yang ketumpuk-tumpuk, Sad. Gimana kalau kamu kerjain tugasku mulai sekarang? Nanti aku bayar tiap bulan."

"Tugasmu terdekat apa?"

"Laporan KKN."

Sadha kaget. "Wes sue banget rampung KKN, durung rampung? (Udah lama banget selesai KKN, belum selesai?)"

Haris nyengir sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya, berarti; peace.

Sadha menggeleng-geleng. "Oke, deal. Kabarin, Har."

Sadha dan Haris melanjutkan percakapannya mengenai perkuliahan keduanya. Yang Haris tahu, Sadha adalah seseorang yang memiliki banyak beban, yang selalu enggan untuk membagi kepada orang lain, bahkan dirinya paham jika tidak memulai topik dengan Sadha mengenai kehidupannya dengan adik-adiknya dan kelanjutan pendidikan mereka, Sadha tidak akan tiba-tiba memberi tahu.

Pertemanan mereka sudah terjalin dari awal menjadi mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, keduanya sama-sama telah melewati naik turun kehidupan perkuliahan, namun hal wajar terjadi ketika Sadha menuju ke jenjang penugasan akhir lebih dulu dibanding Haris. Kendati demikian, pertemanan mereka masih terus berlanjut. Kadang seringkali, Haris bertanya kepada Sadha mengenai materi yang tidak ia pahami dan Sadha dengan senang hati memberikan penjelasan kepada teman sebayanya itu.

Saudade: Sadha, Aku, dan SaudadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang