Surakarta, 4 Desember 1992
Ki Kuk!
Sadha terbangun kaget. Alarm pada jam kayu di kamarnya berbunyi seperti biasanya, namun kali ini terdengar lebih nyaring. Sadha bangun dari tidurnya, kemudian mengalihkan pandangannya dari atap ke jam dinding kayu tersebut.
Pukul 05.43.
"Astaga!" Teriaknya. Ini adalah kali pertama Sadha bangun terlambat. Dirinya tidak menyangka akan bangun selambat itu setelah malamnya mengerjakan tugas kuliah orang lain seperti biasanya.
Sadha bergegas pergi dan bersiap-siap lebih cepat dari pagi-pagi sebelumnya. Ia tak sarapan dan beberapa kali meminta maaf kepada ibunya karena tidak bisa memakan makanan untuknya. Ibu maklum, sesekali menyarankan dirinya untuk beristirahat saja karena malam kemarin dirinya baru mulai tidur dini hari. Sadha menolak, dirinya tahu kehadirannya di kelas menuju tugas akhir ini sangat penting untuknya.
Sadha berjalan kaki ke halte bus terdekat dengan gesit secepat yang ia bisa. Ia berhenti di warung kecil dan membeli roti disana, dengan uang pas dan nafas terengah-engah karena terburu-buru. Dia akan terlambat, hanya itu yang dipikirkannya.
Suasana halte bus saat itu sedang ramai. Sadha yang telah sampai kemudian berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah. Momen terlambat bagi Sadha adalah momen yang langka, dirinya merasa hal tersebut tidak seharusnya terjadi.
Tak lama dari waktu istirahatnya untuk mengatur nafas, bus yang bertujuan ke kampusnya datang dari arah kanan. Sadha yang telah melihat bus tersebut kemudian berdiri mendekati bus tersebut.
"Rame banget." Katanya dalam hati. Bus mendekati jam-jam kerja seperti ini memang cenderung memiliki banyak penumpang dibanding bus dini hari yang biasanya ditumpangi Sadha. Ia tahu ini merupakan kesalahannya sehingga mau tidak mau, ini telah menjadi konsekuensinya untuk merasa terburu-buru. Sebenarnya tidak ada yang berubah baginya. Biasanya pada saat bukan jam terburu-buru seperti saat ini, Sadha tetap berdiri didalam bus tersebut dikarenakan ia lebih suka memberikan tempat duduknya kepada orang yang lebih membutuhkan, terutama perempuan paruh baya.
Sadha berdiri melihat kanan dan kiri suasana di dalam bus pada saat itu, anak kecil yang berangkat sekolah hingga laki-laki yang sepertinya rapi dengan jasnya untuk bekerja. Beberapa dari mereka turun lebih dulu karena Sadha mengakhiri perjalanannya di ujung kota Surakarta, lokasi kampusnya berada.
Perjalanan bus Sadha telah sampai di Kartasura. Terhitung setengah jalan dari tempat ia mengakhiri perjalanannya. Saat berhenti di salah satu halte yang berada di Kartasura, dirinya melihat orang berlalu lalang masuk dan keluar dari bus. Hingga salah satu sosok dalam rombongan orang yang naik tersebut menyita perhatiannya.
Seorang gadis berambut pendek bersama tas ransel kecil dan buku di tangannya berhasil menyita perhatian Sadha. Tidak tahu mengapa, perempuan menarik baginya. Dilihatnya lama perempuan itu, sesekali tak sengaja melakukan kontak mata antara keduanya. Berbeda dengan Sadha, perempuan itu terlihat tenang.
Rambutnya yang unik, kulit putih diikuti mata coklat sungguh menyelimuti aura gadis itu. Namun Sadha tak mengambil langkah lanjut, yang ia pikirkan sekarang adalah bertambahnya waktu yang semakin memburunya. Tapi sekali Sadha mengstakan dalam hati hal yang langka dan hampir mustahil dipikirkannya.
Cantik.
***
"Baru dateng, Sad? Tumben." Tanya Arini heran.
Sadha tersenyum simpul, tidak menjawab. Dirinya sibuk membaca buku tentang perkembangan imun dan sel yang kini menjadi hal utama yang perlu dilakukannya. Perkembangan skripsinya sudah sangat dekat, meskipun banyak perjuangan yang masih perlu ia lakukan.
"Kamu masih kerja ngerjain tugas ngga, Sad?" Tanya Ganta, teman Sadha.
Sadha mengangguk. "Masih."
Pada saat itu, suasana kelas ramai menunggu kedatangan dosen. Sadha masuk kelas atas izin dosen tersebut meskipun dirinya tidak memiliki tuntutan untuk mengikuti kelas ini. Sadha sudah berada di tahap tugas akhir, namun dirinya masih ingin mendapatkan beberapa ilmu yang dia pikir belum paham betul bagiannya.
Sadha berpindah ke kursi bagian belakang kelas. Dia merasa keramaian itu mengganggunya untuk memahami informasi saat membaca buku yang tengah berada di tangannya.
Plak.
Semua orang yang mendengar suara tersebut menoleh ke asal suara, tak terkecuali Sadha. Dirinya yang tengah berjalan kearah belakang pun turut menoleh, penasaran.
"Gila kamu, Yon!" Teriak seorang perempuan yang bernama Ila diduga menampar seorang laki-laki didepannya, Yoyon.
Tak merasakan sakit, Yoyon justru tertawa. Ila lari keluar kelas sambil menangis menutupi wajahnya dan memegang rokny. Semua orang bingung, pun Sadha.
Sadha berjalan menuju salah satu orang dekat sana. "Kenapa, Ma?"
Maya memasang muka masam. "Ila dilecehin, Sad. Yoyon buka rok Ila di depan kelas."
Mendengar hal tersebut, Sadha merasa tak enak. Amarah serasa menyeruak didalam dirinya, sulit untuk ditahan. Dirinya diam sebentar, kemudian membalikkan badan tepat didepan Yoyon.
"Kurang ajar!"
Bug.
Satu pukulan telah sampai di sana, tepat di wajah Yoyon. Kejadian tersebut mendapatkan seluruh perhatian orang di tempat itu, orang lain yang berada di luar rusng kelas perkuliahan juga tak kalah penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka menyaksikan kejadian itu terheran, karena tidak ada yang berani kepada Yoyon, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang sering datang ke fakultas Sadha untuk mengejar Ila. Ila yang tak mau dikejar.
Bug.
Pukulan kedua dan seterusnya masih berlanjut. Keduanya saling memukul satu sama lain, merasakan amarah yang sedang menyelimuti atmosfer diri keduanya. Tidak ada yang mengalah, yang ada hanyalah orang lain yang berusaha melerai karena Sadha dan Yoyon memiliki perawakan besar, sulit untuk menyamakan energinya.
Safri Sadhana adalah sang pembela kebenaran. Ketika dia merasa orang lain merugikan orang lainnya, ia akan menjadi orang pertama yang menentang, bahkan jika diperlukan membuat pengumuman pada berita internasional, bahwa seseorang melakukan pidana dan dia tidak merasa bersalah.
Sekali lagi, Safri Sadhana adalah laki-laki yang sangat menghargai perempuan. Jangan bertanya mengapa, dirinya sangat memuliakan orang lain, menjaga perasaannya tetap aman dan nyaman, membuat orang lain merasa dihargai di sekitarnya. Jangan mengganggu atau Safri Sadhana akan melakukan hal yang sama.
Kelanjutan dari perkelahian mereka tentu akan dilakukan secara dewasa, mengingat mereka bukanlah siswa sekolah dasar yang merebutkan permen mahal yang diberikan oleh gurunya. Masalah ini lebih kompleks dan detail, namun Sadha akan tetap berteguh kepada pendiriannya untuk mendengar permintaan maaf dari orang yang bersalah dan melihat pertanggungjawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saudade: Sadha, Aku, dan Saudade
RomanceCerita ini merupakan insiden nyata yang diceritakan kembali. "Saudade" mengisahkan perjalanan emosional Safri Sadhana, seorang mahasiswa yang memiliki beban besar dalam hidupnya. Cerita ini menggambarkan betapa pentingnya pertemanan, tekad, dan kegi...