Bagian 4: Indira, Indah

2 1 0
                                    

Klaten, 27 Desember 1992

"Aku suka kamu, Sad."

Sadha diam, tak menjawab. "Kenapa?"

"You are my whole type, Sad." (Kamu sepenuhnya tipeku)

Hal seperti ini bukan kali pertama terjadi kepada Sadha, tidak berubah, jawabannya akan tetap sama. "Maaf, aku belum mau ke arah sana."

Orang-orang mulai memahami Sadha. Dirinya sulit untuk didekati, entah itu karena perasaannya yang terjebak di masa lalu, atau justru pikiran dan kemauannya untuk menuju ke masa depan. Tidak pernah ada yang tahu. Lebih tepatnya, dirinya tidak mengizinkan orang lain tahu, secara tak langsung memberikan celah untuk orang lain menerka-nerka.

"Oke kalau gitu, Sad."

Pernyataan itu sedikit membuat Sadha lega, lain perempuan menanggapinya dengan cara lebih menyalahkan. Namun Sadha adalah Sadha. Menurutnya, perasaan orang lain akan keputusan pribadinya bukan merupakan tanggung jawabnya.

"Aku kesana dulu."

Sadha pergi meninggalkan perempuan itu, dia tidak merasa terbebani namun kebingungan dengan apa yang mungkin harus ia lakukan apabila bertemu dengan perempuan itu lagi. Beberapa perempuan yang mengatakan pernyataan itu padanya biasanya tidak melanjutkan hubungan pertemanan diantara keduanya. Beberapa memilih untuk menjauh dari Sadha, berusaha untuk melupakan perasaannya, bahasa gaulnya adalah move on.

Sadha tidak menganggap hal tersebut salah. Itu adalah mutlak perasaan sang perempuan. Menurutnya, Sadha tidak bertanggung jawab pada hal tersebut. Itu murni di luar kendalinya.

Sadha sampai ke tempat tujuannya untuk bertemu Haris. Ia temgah membahas penugasan laporan KKN milik Haris yang masih banyak revisi dikarenakan beberapa kuantitas yang tidak sama dengan anggota kelompok KKN Haris.

"Har, mana temen kelompokmu?"

"Lagi di jalan." Kata Haris. "Wes mangan koe? (Udah makan kamu?)"

Sadha menggeleng. "Durung. (Belum)"

"Habis ini makan bareng yo." Kata Haris. "Btw ini Sad, aku mau revisi yang ini."

Haris membuka laporan KKN miliknya sembari menjelaskan beberapa catatan yang perlu Sadha ubah. Sadha memerhatikan seksama sembari mencatat yang perlu dicatatnya di book notes kesayangan miliknya. Pikiran Sadha terfokus kepada beberapa poin yang Haris sampaikan, menyadari bahwa ini juga termasuk ke dalam tanggung jawab yang telah dipilihnya.

"Mas Haris."

Suara itu terdengar begitu saja ditengah kegiatan Haris dan Sadha yang terlihat sibuk. Keduanya menoleh.

Tik.

Waktu saat itu memang tetap berdetik, menggerakan jarum jam sepersekian gerakan, namun bagi Sadha, saat itu juga waktu seakan mengiginkan dirinya untuk pergi ke tempat lain, membiarkan rasa senang turut tumbuh dalam waktu yang singkat sesaat melihat perempuan sang pemilik suara tersebut.

Sadha mengamati perempuan tersebut lekat, terlihat tidak asing baginya. Tetap terlihat sama seperti pertama kali matanya menjatuhkan pandangan ke wajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut adalah sosok yang sama seperti siapa yang berdiri di bus beberapa waktu yang lalu. Sadha tak lupa, diingatnya kembali tiap-tiap detik saat mereka berdua pertama kali bertemu. Setidaknya, pertemuan yang berarti bagi Sadha.

"Sad, ini maba Pendidikan Kimia." Kata Haris, memperkenalkan perempuan tersebut kepada Sadha yang masih diam terpaku. "Kenalan sek."

Perempuan tersebut dan temannya kemudian melemparkan senyum kepada Sadha sembari menganggukan kepalanya. Tidak ada yang paham bahwa Sadha pada saat itu sedang terpukau; setidaknya untuk heran dengan apa yang sedang disuguhkan di depannya saat ini.

"Saya Indira mas, mahasiswa Pendidikan Kimia," kata perempuan tersebut memperkenalkan dirinya.

Indira. Begitu manis dan cantik nama itu keluar dari mulutnya sendiri kemudian didengar oleh Sadha.

"Saya Arini mas, satu kelas sama Indira." Kata perempuan satunya yang membersamai Indira. "Masnya ini panitia PKKMB juga?"

Sadha menggeleng. "Bukan."

"Sad, kenalan sek toh." (kenalan dulu toh)

Mendengar celoteh Haris barusan, Sadha teringat dirinya belum menyebutkan namanya.

"Aku Sadha. Teman Haris."

Setidaknya hari itu, selain mendapatkan kebahagiaan bertemu dengan perempuan itu lagi, Sadha mengetahui namanya. Dirinya pulang membawa senyum simpul di wajahnya, Indira jauh lebih cantik bila dilihat dari dekat, jauh lebih menarik bila jarak antara pandangannya tidak terhalang apapun.

***
Semenjak pertemuan mereka di bus dan dikenalkan oleh Haris, Sadha merasa bahwa mungkin Indira adalah satu-satunya perempuan yang berhasil membawa pergi hatinya, untuk tidak lagi diberikan kepada siapapun, untuk menjadi tujuan tanpa pernah dirinya sengajakan sebelumnya. Begitu caranya memaknai sebuah pertemuan dan ketertarikan; bahwa keduanya merupakan hal yang tidak bisa disengaja, berjalan lewat nurani dan berharap pada ujung kebahagiaan.

Hari-hari seperti biasa, Sadha mulai paham jam berapa tepat Indira melakukan perjalanannya dari Kartasura menuju kampus mereka. Dengan kesadaran penuh, Sadha sengaja mengikuti jam berangkat Indira tak lain untuk menyempatkan waktu paginya untuk bertemu dengan perempuan itu.

Dari pandangan Indira, Indira terkadang kebingungan kenapa dia dan Sadha selalu dalam bus yang sama sedangkan masih banyak bus lain dengan jurusan Klaten-Palur yang tentu melintasi halte mereka berdua. Ia pun kebingungan kenapa selalu berjumpa Sadha secara tidak sengaja di setiap tempat.

Indira akhirnya memulai obrolan dengan Sadha setelah beberapa kali bertemu. Sadha senang, pun dengan Indira. Mereka banyak membahas mengenai perkuliahan, meskipun dalam ranah yang berbeda, Kimia dan Biologi tidak terlalu jauh perbedaannya, sehingga hal tersebut membuat Indira dan Sadha merasa sangat cocok untuk bertukar pikiran satu sama lain.

Cerita tentang Sadha dan Indira akan dipangkas hingga cerita perkenalan uniknya dan beberapa hal yang diceritakan pada bagian ini, beberapa hal manis yang terjadi di antara keduanya lebih cocok disimpan dan dikenang oleh orang-orang terdekat, termasuk penulis.

Saudade: Sadha, Aku, dan SaudadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang