Bagian 1: Berjalan dengan Beban

5 1 0
                                    

Klaten, 2 Januari 1992

Setiap kota selalu punya cerita untuk orang-orang yang lahir dan tumbuh di sana. Beberapa memilih untuk melanjutkan cerita hidupnya di kota tersebut, sengaja atau tidak sengaja merangkai bagian-bagian penting yang dapat diingat di masa mendatang. Begitu rasanya ketika bahagia dan sedihnya hidup dirasakan sambil mengenang hal-hal mati yang terlibat, bahkan tempat akan memberikan penjelasan tanpa perlu pengulangan deskripsi mengapa sebuah insiden dapat terjadi.

Tempat untuk kembali, tempat untuk mendatangkan asa yang kemungkinan hilang saat kita berada di tempat lain.

Hari ini, di jalanan kota Klaten yang rimbun oleh pepohonan ditemani suara riuh dari ramainya kendaraan, seorang laki-laki dengan perawakan tinggi dan punggung jangkung yang terbalut jaket hitam tebal berjalan di trotoar. Ia tidak menghiraukan sekitar, dirinya terlihat terburu-buru sembari membawa map dokumen berukuran besar yang berada di tangan kirinya dan tas ransel tebal menggantung setengah di bahunya.

Laki-laki itu memberhentikan diri sesaat setelah melihat seorang wanita paruh baya yang kebingungan saat sedang menyeberang. Dilihatnya wanita itu dengan seksama, kemudian dengan sigap menghampirinya. "Saya bantu ya, Bu."

Ia melentangkan satu tangannya sebagai arti untuk memberhentikan kendaraan yang sedang lewat, sedang satu tangan yang lainnya menggenggam tangan wanita tua itu. Dirinya sesekali melihat ke kiri, kemudian berganti ke kanan memastikan tak akan ada kendaraan yang melaju.

"Matur nuwun sanget nggih, mas. Mas siapa namanya? (Terima kasih banyak ya, Mas.)"

"Nami kula Safri Sadhana, Bu. Sami-sami. (Nama saya Safri Sadhana, Bu. Sama-sama)"

Dia adalah seorang Safri Sadhana. Tampan, dingin, tegas dan gagah mungkin akan menjadi impresi orang-orang saat pertama kali bertemu dan berkenalan dengannya. Dengan parasnya yang menawan dan cara berbicara yang halus, sosoknya kian dikagumi banyak orang. Terbukti dari tak sedikitnya orang yang mengatakan bahwa dirinya memikat. Sekali lagi, dia adalah Safri Sadhana. Selamat berkenalan dengan dirinya yang menjadi lakon utama dalam rangkaian saudade yang tersusun pada paragraf-paragraf berikutnya.

***

Setelah melawan panas terik matahari di Kota Klaten pada siang hari itu, Sadha sampai di rumahnya. Ia berjalan kaki sekian kilometer jauhnya dari halte bus yang menjadi transportasi utama mobilitas dari rumahnya kemanapun.

"Assalamualaikum, Sibu." Kata Sadha sambil mencium tangan ibunya yang sedang duduk di halaman rumahnya. "Nembe nopo, Bu? (Sedang apa, Bu?)"

Sedari kecil, Sadha memanggil ibunya menggunakan sebutan Sibu. Seperti panggilan sayang pada umumnya, dirinya dan ibunya sangat nyaman dengan sebutan itu.

"Waalaikumussalam, Dha. Nyantai." Jawab Ibunya sambil memandangi wajah anaknya itu sambil tersenyum, kemudian tatapannya berlanjut ke map dokumen tebal yang berada di tangan anak laki-lakinya itu. "Kuliahe lancar, le? (Kuliahnya lancar, le?)" Tanyanya. *Le adalah sebutan untuk anak laki-laki di Jawa. Biasanya digunakan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda.

"Lancar, Bu." Jawabnya sembari mengangkat jari ibu miliknya yang berarti oke. "Sibu sampun dhahar?"

Ibu mengangguk. Sadha kemudian berpamitan untuk masuk kedalam kamarnya untuk beristirahat. Mengingat ia telah berangkat untuk kuliah pada dini hari kemudian kembali ke rumah waktu siang menjelang sore, tidak ada larangan dari ibu.

Di dalam kamarnya, Sadha membuka dompet miliknya, dilihatnya beberapa lembar kertas bernominal didalamnya. Uang itu dilihatnya lekat. Ia baru menyadari pengeluarannya untuk mencetak kebutuhan tugas akhirnya cukup sedikit menguras. Ia kemudian menghitung uang-uang kertas dan juga beberapa koin yang terdapat di sana; setidaknya masih ada. aku bisa menghasilkan uang dari bekerja lagi besok, katanya dalam hati.

Begitulah seorang Safri Sadhana. Dengan kegigihan dan kemauannya, ia menjadikan beban yang ia memiliki sebagai motivasi paling besar dalam hidupnya yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun. Orang-orang di sekitar Sadha paham bahwa dirinya merupakan sosok yang tidak pernah mengeluh dan gigih belajar. Jadi, ini akan menjadi penjelasan juga mengapa dirinya tidak putus asa atau merasa kebingungan hal apa yang harus dilakukannya untuk memecahkan sebuah masalah.

Sadha lalu duduk di kursi yang tergabung dengan meja belajar berbahan kayu miliknya, diambilnya buku tebal berwarna merah bertuliskan "Basic Immunology" yang tak lain merupakan buku perkuliahan yang digunakannya pada referensi penulisan skripsi yang tengah ia susun. Pada sampul buku tersebut, tertempel kertas coklat kecil bertuliskan "Sad, cepet dibaca bukunya. Balikin ke aku tanggal 21 Maret."

Saudade: Sadha, Aku, dan SaudadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang