𓆡𓆝𓆞𓆟𓆜𓆛
•••
Sebut saja Daffen, ia kembali bersekolah setelah tidak hadir beberapa hari. Baru pertama kali memasuki gerbang sekolah saja, setiap orang menatapnya dengan sinis, seperti Akara adalah manusia menjijikkan.
" Muka landak sok nge-judge. Sehat kah kalian wahai kaum titisan dajjal?" Ucapnya santai tanpa peduli jika siswa-siswi itu mendengarnya.
" Beban keluarga kayak Akara ternyata gak punya malu. Nilai boleh tinggi sih, tapi nyatanya tidak berattitude. Kenapa gak mati aja pas bunuh diri?" Sinis siswi dengan bibir merah cetar seperti habis di cium lebah.
" Lonte banyak gaya." Ucap Daffen ketika melewati siswi itu.
" Awas ya, Kara." Ujarnya marah karena tak Terima dikatakan sebagai lont*.
Daffen kembali menginjakkan kaki disekolah untuk pertama kalinya sebagai orang lain. Ia lulus sekolah menengah atas bertahun-tahun lalu dengan nilai terbaik, tak disangka jika Akara juga pintar. Daffen tidak tahu bagaimana style Akara ketika disekolah. Jadi suka-suka dia saja.
Daffen memasuki kelas Akara, dia tahu kelas Akara dari bisikan halus jiwa anak itu yang masih terombang-ambing di dunia. Banyak bisikan tak mengenakkan tentang Akara. Se-terkutuk apa anak itu sampai hampir semuanya membencinya. Daffen duduk di meja bertuliskan nama Akara, dan dia duduk sendirian karena dikucilkan. Bahkan beberapa guru juga ikut mengucilkannya. Akara, manusia itu terlalu kuat menahan semuanya sendiri, Daffen yang mungkin akan membalas semua perlakuan mereka tidak ada Akara sampai mereka sendiri jera.
Daffen duduk sendirian di pojok ruangan. Pertama kali mendapatkan perlakuan seperti ini membuatnya merasa tak nyaman. Dimasa sekolah dulu, jangankan ada yang berani membully, menatap Daffen saja mereka merasa segan. Jika ada yang berani kurang ajar padanya, dan sialnya diketahui Zia pasti saja keesokkan harinya diumumkan pemakamannya. Daffen sangat disayangi oleh keluarganya, dia diharapkan tidak mengikuti jejak orang tua bahkan kakaknya. Namun semakin dewasa, darah Willian semakin kental mengalir ditubuhnya, sehingga pekerjaannya sebagai desainer menjadi hanyalah pekerjaan sampingan.
Sangat berbanding terbalik dengan kehidupan Akara Aswara yang mengenaskan. Lahir sebagai anak terakhir dari keluarga Wesley tidak menjadi jaminan ia disayangi oleh keluarganya. Ia malah tidak dianggap, alasannya keluarga tidak menginginkan anak laki-laki dikeluarga mereka, cukup Arga dan Argi. Mereka ingin anak perempuan dan mereka mendapatkannya yaitu Adira, kakak kembar Akara. Adira terlahir dengan penyakit jantung bawaan, dan sangat diperhatikan oleh seluruh keluarga Wesley. Akara diabaikan oleh orang tua dan kakaknya tapi disayangi oleh kakeknya. Seluruh aset keluarga diatas namakan Akara oleh kakeknya sebelum meninggal.
Daffen sendiri baru mengetahui jika selama 16 tahun hidup Akara, ia menyembunyikan penyakitnya karena takut dibuang, hanya kakeknya yang tahu. Hal ini juga membuat Daffen sedikit kesal, Daffen dulu hidup dengan sehat pasti akan kebingungan sewaktu-waktu penyakit Akara menyerangnya.
Pelajaran pun dimulai dengan damai, guru yang mengajar nampak menyeramkan sehingga puluhan mulut siswa terkatup begitu saja. Daffen yang bosan pun hanya menggambar abstrak dibuku tulisnya, masalahnya materi ini sudah ia ingat diluar kepala.
Hingga jam istirahat pun berbunyi dengan nyaring sampai setiap sudut sekolah. Daffen sangat malas pergi ke kantin yang ia yakini tempat itu pasti penuh lautan manusia, entah yang memang ingin mengisi perut atau sekedar bergosip saja. Jadi ia memilih pergi ke taman di samping gudang yang sepi.
Ketika hampir tiba, jalannya kaki Daffen melambat dan hendak berbalik. Namun sayang, kerah seragamnya sudah lebih dulu ditarik oleh seorang siswa dari gerombolan orang di taman. Daffen merutuki tubuh kecil Akara yang tak bertenaga.
" Ini dia, siswa yang sekarang udah sok berani. Akara Aswara, beban keluarga Wesley." Ucap siswa itu dengan nada suara meremehkan, bahkan senyuman sinis itu terpatri dibibirnya.
" Hai beban. Sayang, dia yang sembarangan bilang aku lonte. Aku gak suka! Pokoknya kamu harus kasih dia pelajaran biar dia gak ngomong sembarangan." Ucap seorang gadis yang ditemui Daffen pagi tadi.
" Ohh, jadi lo yang bilang pacar gue lonte sampai dia badmood?! Berani banget lo sama dia, lo gak tau kalau dia pacar dari orang paling ditakuti disini, yaitu gue, Raka Pratama." Ucapnya sok jagoan.
" Kalian maju." Ucap Raka mengkomando anak buahnya.
Sekitar 5 orang mulai memukuli Akara, ada yang memegang tangannya dan ada yang memukulnya. Mereka memukuli Akara tanpa henti hingga targetnya jatuh ke tanah. Setelah puas, pacar dari Raka memberikan perasan air jeruk nipis dan garam pada luka Akara yang terbuka, lalu tertawa sejadi-jadinya. Mereka lantas meninggalkan Akara yang meringkuk kesakitan diatas rerumputan taman.
" Sabar Daffen, berusahalah menjadi anak baik kali ini." Ujarnya menyemangati dirinya disaat luka ditubuhnya tak bisa dikatakan ringan.
•••
Daffen memasuki kelas dengan keadaan yang mengenaskan. Tubuhnya penuh luka dan memar dimana-mana. Anak-anak dikelas itu bukannya prihatin malah tertawa dan mengatakan sepantasnya Akara mendapatkan perlakuan seperti itu. Baru saja hendak duduk seorang guru mata pelajaran datang dan menegur Akara.
" Kamu berantem sama siapa lagi, Akara?! Saya sudah lelah dengan perilaku kamu yang seenak hati seperti itu! Saya tidak mau lihat wajah penuh lukamu di kelas saya, keluar dan berdiri didepan tiang bendera sampai bel pulang berbunyi!!!" Daffen yang diteriaki oleh guru perempuan itu pun pergi. Melaksanakan hukuman dari guru itu tanpa ada pembelaan.
Daffen mengira hanya ada dirinya yang dihukum. Ternyata ada satu anak lain yang dihukum juga. Wajahnya nampak begitu garang dengan perawakan macam preman. Daffen membenci tubuh kecil, kurus milik Akara, wajahnya mungkin imut, tapi apa gunanya jika babak belur begini.
" Berantem sama siapa lo?" Ketar-ketir jiwa Daffen saat itu.
" Dipukulin." Jawabnya dengan suara rendah.
" Pulang sekolah ikut gue." Semakin tercabut rasanya jiwa Daffen.
" Kita ada masalah apa ya, kak? Atau kita pernah saling kenal? Jangan apa-apain Akara." Tanya Daffen baik-baik.
" Kurang-kurangin overthinking, gue cuma mau temenan doang sama lo, prihatin sendirian mulu, dijulidin anak sekolah. Niat baik gue tuh." Daffen seperti kurang percaya tapi mungkin boleh dicoba.
" Bisa dipercaya gak nih?" Tanya Daffen dengan wajah mengintimidasi.
" Bolehlah. Kenalin, gue Pratino, lo Akara Aswara, kan?" Tanyanya setelah mengenalkan dirinya.
" Kalau mau temenan beneran, jangan panggil Akara tapi panggil Daffen. Cape punya nama yang artinya cuma bayangan semata." Ucapnya pada Pratino.
" Iya, Daffen. Kenapa gak ngelawan kalau di bully? Atau ngadu sama keluarga lo." Daffen menyipitkan mata, apa ngadu ke keluarga Akara?
" Kalau ngelawan udah pasti kalah duluan. Gak ada yang peduli sama gue." Tino merasa prihatin dengan kondisi hidup Akara.
" Gue ajarin."
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Silhouette✘
Short StoryTransmigrasi book 4 Daffen Willian, seorang laki-laki berusia 24 tahun yang meninggal dunia karena kecelakaan fatal. Jiwanya bertransmigrasi ke sebuah karya tulis yang ditulis oleh sang mama yang berjudul 'Silhouette'. Daffen membacanya beberapa kal...