04. 8'O,2X24

450 56 0
                                    

𓆡𓆝𓆞𓆟𓆜𓆛

•••

       Tino menghembuskan nafasnya kasar, “Lo kok gak bilang punya Asma?”

        “ Kan Tino gak nanya.”

        “ Emang semuanya harus nunggu ditanyain dulu baru ngomong ya, Pin. Shock gue waktu dokter bilang lu hampir Amor.” Tino mulai berceloteh.

        “ Ya sekarang kan udah tau. Terus sekarang karena lo tau, mending lo jauh-jauh dari gue yang penyakitan.” Tino melotot ketika mendengar ucapan dari Daffen.

        “ Mana bisa gitu, Pin. Masalahnya lo udah gue anggap adek sendiri. Gara-gara lo juga, pertama kali gue bicara panjang lebar sama Theo.” Ujarnya dengan sedikit bubuk emosi yang dicampurkan dengan sejumput kelembutan.

        “ Itu, Mr. Theo, guru yang ngajar bahasa Inggris, siapanya Tino? Mukanya mirip.” Tino otomatis mendekat kearah Daffen.

       “ Akhirnya ada juga yang nanya perihal ini. Minta pendapatnya dulu, Pin. Menurut lo, gue minta maaf atau terus aja hidup begini.” Daffen menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Tino ini maunya apa sih?

       “ No! Minimal kalau mau minta pendapat,  kasih tau dulu problem lo yang mau lo mintain pendapat. Kalau gini caranya mana gue bisa.” Protes Daffen hanya mendapatkan cengiran.

        “ Jadi selama beberapa tahu belakangan ini, gue lagi ada masalah sama keluarga. Gue dilarang tinggal sama kakek sampai akhirnya kakek meninggal. Gue marah, kenapa korbanin kakek buat tinggal sama anak tirinya yang jahat. Tapi mereka berkali-kali bilang kalau ini semua perintah dari kakek. Keluarga gue bahkan harus hidup sembunyi-sembunyi karena saudara tiri Papa gue, mau bunuh kami semua karena harta.” Jelas Tino.

         “ Jadi gue bingung harus gimana sekarang. Kak Theo kayaknya udah mulai putus asa bujuk gue.” Imbuh Tino lagi.

        “ Ini menurut gue, ini pendapat gue. Lo jangan marah kalau denger karena lo sendiri yang minta gue berpendapat. Ada baiknya lo bicara baik-baik sama keluarga lo. Minta mereka jelaskan alasan keluarga dan kakek lo. Gue yakin setelah kalian duduk bersama secara baik-baik, semua kesalahpahaman lo akan bersih. Tino, lo masih punya keluarga yang sayang sama lo, jangan sia-siakan.” Tino menganggukkan kepalanya setelah mendapatkan pencerahan yang maha terang.

       “ Udahkan? Sekarang, gimana sama Kak Nila dan Kak Raka?” Tanya Daffen.

       Tino lagi-lagi menghela nafas, “ Nila meninggal karena mati batang otak. Tau sendirikan dia jatuh dari rooftop bukan dari pohon cabe. Terus Raka ternyata depresi dan udah positif narkoba. Pacar Raka bukan cuma Nila, ada lagi namanya Gesya. Gesya nolak bersetubuh sama Raka, jadinya Raka bunuh Gesya karena marah. Setelah itu, Raka puasin nafsunya dulu sebelum mutilasi mayat Gesya dan dikasi makan anjing peliharaannya. Itu cerita dari Raka sendiri.” Daffen benar-benar shock dengan penjelasan Tino. Raka lebih keji dari yang ia bayangkan.

         “ Tapi Nila lebih parah daripada itu. Selain jual diri ke om-om hidung belang, dia juga bunuh beberapa client demi dapatkan uangnya. Dia rekayasa pembunuhnya seolah-olah kecelakaan. Keluarga Nila itu keluarga mampu tapi keluarganya lebih perhatian sama kakak laki-laki Nila yang sakit-sakitan. Nila jadi merasa tak terurus dan terbuang. Terakhir sebelum lompat dari atap, dia kerumah sakit temuin kakaknya. Sehabis itu, kondisi kakaknya drop bahkan sekarang masih belum sadar di ICU.” Tino melanjutkan penjelasannya mengenai Nila.

Silhouette✘Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang