"Bu, sakit bu?" Tanya Mbak Ina. Pasalnya sejak menemani Gyani dari rumah, perjalanan, dan sekarang menempati kamar persiapan persalinan Gyani lebih banyak diam. Saat kontraksi kuat datang Gyani hanya meringis kecil dengan dahi berkerut."Sakit."
"Kok kaya biasa aja." Gyani memutar bola matanya mendengar komentar Mbak Ina. "Yang mana yang sakit emangnya Bu."
"Semuanya."
"Dari atas sampai bawah?"
Gyani mengangguk. Semuanya sakit. Rasa sakitnya menghantam bersamaan. Menggerogoti tubuhnya sampai habis. Gyani sampai tidak tahu bagaimana lagi caranya berekspresi.
"Yang mana yang paling sakit?"
Hatiku Mbak. "Perutnya lah. Orang mau lahiran.
"Ngomong dong, Bu. Biar saya elusin." Tangan Mbak Ina terulur untuk mengusapi perut Gyani. Usapannya lembut dan konsisten, memercikan rasa hangat dan nyaman. "Saya kan ART siaga."
Gyani tersenyum tapi tidak lama. Kontraksi tiba-tiba menghantamnya, Gyani meringis lagi, kali ini sambil meremas lengan Mbak Ina. Intensitas kontraksinya mulai bertambah. Rasa sakitnya juga mulai meningkat.
"Gitu dong, Bu. Liatin kalo lagi sakit jangan diem aja. Saya kan jadi takut."
"Shhhh sakit Mbak."
"Mau dipanggilin dokter?"
Gyani menggeleng. "Nanti aja biar dateng sendiri."
Mbak Ina kemudian diam, lebih memilih fokus mengusap perut Gyani. Usapan Mbak Ina memang tidak mengurangi rasa sakitnya, namun cukup membantu Gyani merasa sedikit lebih baik. "Pinggang aku dong Mbak, pijetin agak kenceng."
"Bu, Ibu nggak mau telpon Nyonya? Mamanya Ibu? Atau Bapak?" Yang terakhir Mbak Ina tanyakan dengan nada ragu.
Gyani menggeleng. "Nanti aja kalau udah lahir."
"Ah Ibu mah! Emangnya nggak mau ditungguin sama mereka?"
Gyani menggeleng tanpa ragu. "Mbak udah ah nanyanya. Aku pusing. Sakit banget nih sekarang abis ditanyain Mbak Ina," Gyani mengadu. Ekspresi Gyani mulai tidak terkontrol karena menahan rasa sakit. "Huhhh huhhhh," Gya meremas selimut yang ia pakai. "Kok jadi sakit banget ya Mbak? Panggilin dokter deh, Mbak. Akhhh awww sakiiit."
Mbak Ina langsung meluncur ke depan memanggil dokter yang berjaga di depan kamar persiapan. Memberi tahu keadaan majikannya. Dokter kemudian datang untuk memeriksa. Pembukaan Gyani sudah mencapai tujuh centi. Tidak lama lagi. Dokter menyarankan Gyani untuk berjalan-jalan atau bermain pada birthball. Gyani memilih untuk berjalan-jalan.
Mbak Ina senantiasa mendampingi Gyani, menjadikan dirinya sebagai pegangan bagi Gyani di tiap langkahnya. Di kamar persiapan persalinan ini tidak hanya Gyani sendiri, ada dua wanita lainnya. Keduanya ditemani suami dan ibu mereka. Gyani meremas lengan Mbak Ina saat kontraksi kembali datang menghantam. Kontraksinya terasa semakin menyakitkan dari waktu ke waktu. Gyani meringis.
"Sakit, Bu?"
Gyani tidak sanggup menjawab. Hampir satu jam mereka berjalan-jalan kecil. Gyani tidak sanggup lagi. "Pengen ngeden deh, Mbak," Gyani meremas terusan pasiennya. Menahan sekuat tenaga dorongan untuk mengejan.
"Tahan, Bu." Mbak Ina mengusap punggung Gyani yang basah oleh keringat. Hati-hati, Mbak Ina menawarkan sesuatu. "Mau di telfonin Bapak Bu?"
Gyani menggeleng. "Saya pikir Bapak harusnya di sini Bu. Nemenin Ibu. Tanggung jawab buat Ibu sama si bayi."
Senyum getir terpatri di wajah Gya, membenarkan perkataan Mbak Ina. Sayangnya Bapak pilih perempuan itu Mbak. "Saya gapapa, Mbak."
"Saya minta maaf atas nama Bapak ya, Bu," suara Mbak Ina tiba-tiba bergetar. Sebagai seseorang yang sudah ada semenjak Niko masih duduk di bangku sekolah hingga menikah, Mbak Ina ikut merasa bersalah dan gagal atas apa yang Niko lakukan pada Gyani. Umur Mbak Ina dengan keduanya tidak terpaut jauh tapi tetap saja rasanya Mbak Ina adalah orang tua bagi mereka. Apalagi saat keduanya memutuskan untuk tinggal sendiri dan Nyonya besar mengutus Mbak Ina untuk menjaga keduanya. "Apapun keputusannya, saya ikut Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bundle of Stories
Romanceone shoot, two shoot, or more about love, mature, marriage, pregnancy, happy, and sad story.