Eric tidak bisa tidur semalaman. Ia terus memikirkan Naomi dan kehamilannya. Pertanyaan apakah ia adalah ayah dari anak yang dikandung Naomi terus berputar dikepalanya. Mungkin iya mungkin tidak. Presentase kemungkinan Eric adalah ayah dari anak itu adalah 70 persen menurut Eric. Ingatan tentang Eric yang pernah tidak memakai kondom dan mengeluarkan benihnya di dalam Naomi menghantuinya.Paginya, tanpa tidur barang sebentar Eric mengendarai mobilnya menuju alamat yang seseorang kirim melalui pesan. Tiga puluh menit berkendara, Eric akhirnya sampai.
Dengan langkah pasti, Eric turun dari mobilnya menuju sebuah rumah tipe 96 yang ia yakini adalah tempat tinggal Naomi. Eric mengetuk pintu pelan, walaupun rasanya ia lebih ingin mendobrak pintu ini dan mengintrograsi langsung Naomi.
Naomi keluar, nampak tidak kaget. Eric dan kekuasaannya membuat Naomi tidak heran laki-laki itu bisa sampai di rumah yang sudah ia tinggali beberapa bulan belakangan ini. Takut Naomi akan menutup kembali pintu rumah itu, Eric lebih dulu mengenggam knop pintu.
"Jawab gue. Lo hamil anak gue?"
"Bukan urusan lo, Ric," Naomi berkata dingin. Jantung Eric turun satu detakan mendapati respon Naomi. Seperti bukan Naomi yang ia kenal. Naomi yang ia kenal selalu menyambutnya penuh riang. Tidak pernah sedingin ini, baik perkataan dan ekspresinya. "Bukannya lebih mudah dengan lo pura-pura nggak tau kalau gue hamil. Atau anggep aja gue hamil sama laki-laki random entah siapa."
"Ayo tes DNA."
"Nggak perlu."
Ada suatu keyakinan yang berakar kuat di hati Eric. "Kita tes DNA, buktiin kalo itu bukan anak gue."
"Gue nggak mau," Naomi berkata tegas.
"Dengan lo nggak mau. Artinya lo takut. Lo takut kalau emang itu anak gue. Emangnya kenapa kalo itu anak gue?"
"Kalo ini anak lo dan kalo bukan, lo mau apa?" Naomi menantang. Eric terdiam. "Kenapa sih lo selalu seenaknya? Kalau emang ini anak lo bukannya gue bakal mohon mohon buat lo nikahin gue kan? Gue yang dulu bakal ngelakuin segala macam cara supaya lo nikahin gue. Tapi apa? Gue nggak ngelakuin itu. Bukannya itu cukup nunjukkin kalo lo dan anak yang sekarang ada di perut gue bukan anak lo?"
Eric terdiam. Mendadak tidak bisa berpikir dengan jernih. Shit. Shit. Shit. Kenapa ia jadi tolol begini. Logikanya mengiyakan apa yang dikatakan oleh Naomi. Naomi yang ia kenal pasti akan menggunakan kehamilannya untuk memenjara Eric dalam pernikahan. Tapi Naomi tidak melakukan itu. Kalau dipikir dengan logika, Naomi benar. Tapi hati Eric bertentangan dengan itu. Hatinya tidak menyetujui apapun yang keluar dari mulut Naomi. Hatinya berkata lain.
***
Harusnya Eric kembali ke kota asalnya kemarin lusa. Tapi hari ini, Eric masih disini, berdiam diri di dalam mobil yang terparkir di depan rumah Naomi.
Logika dan hatinya sempat berperang hebat. Logikanya berkata iya bahwa itu bukan anaknya, tapi hatinya menolak itu. Dan untuk kali ini, Eric mengikuti kata hatinya.
Selama satu minggu Eric selalu menunggu di dalam mobil, tidak seharian penuh tapi cukup lama. Cukup membuat Naomi risih. Minggu kedua, entah bagaimana caranya rumah kosong di samping Naomi sudah menjadi hak milik Eric.
Naomi tidak punya tenaga untuk mengelak dari laki-laki itu. Yang bisa ia lakukan hanyalah tidak menganggap Eric ada. Sampai pada suatu malam, Naomi mengalami demam tinggi. Ia tidak sanggup bangun sama sekali. Kepalanya pusing dan berdenyut hebat. Rasa sakit dalam tubuhnya Naomi masih bisa menahannya. Tapi saat perutnya tiba-tiba menjadi tegang kemudian kram hebat, Naomi sadar bahwa ada yang tidak baik-baik saja. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada bayinya. Mengesampingkan segala hal yang bertentangan dengan harga diri, logika, dan pendiriannya, Naomi men-dial nomor Eric. Tidak sampai lima menit, pintu utama dan pintu kamarnya berhasil dibobol oleh Eric.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bundle of Stories
Romanceone shoot, two shoot, or more about love, mature, marriage, pregnancy, happy, and sad story.