Seorang perempuan tampak sibuk membagi fokus pada tablet dihadapannya dan ponsel yang ia apit di antara bahu dan telinganya. Ia mendengarkan suara seseorang dari telepon sambil jemarinya dengan lihai menari diatas tablet. Entah apa yang ia kerjakan.
Perempuan itu dan aktivitasnya telah menjadi fokus Renata sejak ia masuk ke dalam cafe. Blazzer formal yang perempuan itu kenakan memberi kesan wanita karir yang kuat. Membawa ingatan Renata kebelakang, empat tahun lalu saat ia sama seperti perempuan itu. Seorang wanita karir, bukan ibu rumah tangga.
Tidak ada yang Renata sesali. Hanya sesekali ia rindu dunia kerja. Namun, apa yang ia miliki sekarang terkadang membuatnya melupakan ambisinya, walau terkadang juga ada sedikit keinginan untuk kembali ke dunianya yang dulu.
Menjadi ibu rumah tangga seutuhnya tidak buruk seperti bayangan Renata dulu. Ia tidak menyangka kalau ia bisa menikmati perannya ini dengan sepenuh hati. Fulltime housewife. Suami yang mencintainya sepenuh hati dan anak-anak yang lucu mengentarkan Renata untuk kembali menggapai ambisinya.
Rengekan Vando, anak pertamanya, membuyarkan sibuk kepala Renata. "Mamm, mauuuu pulannn."
"Iyaa, sebentar lagi Papa sampaii ya," hiburnya. Bibir Vando melengkung ke bawah, siap untuk menangis. Untuk mengantisipasi itu Renata usap rambut anaknya lembut menggunakan satu tangan, berharap bisa menenangkan putranya yang berusia empat tahun itu. "Abang mauu pesan kuee coklat lagi?" Vando menggeleng. Ia hanya ingin pulang.
"Mamaaa dinooo!" seru putra keduanya yang sejak tadi sibuk bermain dengan mainan dinosaurus yang ia bawa dari rumah. Vino memang tidak mudah bosan atau merengek asal ada mainan dinosaurus kesayangannya. "Abann mainn dinoo!" ajaknya sambil menabrakan dinoo ke tubuh Vando. Vando meski tidak bersemangat mengambil dinosaurus lain di meja dan ikut memainkannya.
Renata tersenyum melihat interaksi mereka. Hatinya menghangat. Ia ikut mainkan dinosaurus lainnya bersama anaknya. Hati-hati dan tidak terlalu banyak bergerak karena takut menganggu tidur putra ketiga yang berada dalam gendongannya.
Tidak beselang lama, denting lonceng karena seseorang membuka pintu menyita perhatian mereka. Seseorang yang baru saja masuk ada yang mereka tunggu-tunggu sejak tadi. "Papaaaa!" Seru kedua putranya.
Vincent melangkah lebar menghampiri keluarga kecilnya yang sudah menunggu sejak tadi. "Sorry," ucapnya tulus pada Renata. Ia kecup pelipis istrinya dalam, sungguh-sungguh merasa bersalah harus meninggalkan istri serta anaknya dan membuat mereka menunggu cukup lama. "I feel bad."
"Please don't. Kita happy kok!"
"Happyyyy!" seru Vano.
"Still, sorry," Vincent benar-benar merasa buruk.
"Ayo pulann," ajak Vando. Kali ini wajahnya sedikit sumringah karena kedatangan Papanya.
"Ayo pulang," ulang Vincent. Ia membantu Renata untuk berdiri. Perut besar dan bayi 12 bulan dalam gendongannya sangat membatasi pergerakannya. Membuat Vincent semakin merasa bersalah telah meninggalkan istri bersama anak-anak. Ia tidak membayangkan betapa repotnya Renata tadi.
"Bisa sendiri kok," ucap Renata lembut. "Kamu bawa aja belanjaan kita," Vincent mengangguk mengiakan. Ia lepas pegangannya pada Renata dan ia gunakan kedua tangannya untuk membawa papper bag belanjaan mereka yang cukup banyak.
Vando dan Vano berjalan beriringan di sisi Renata setelah dimintai Vincent untuk menjaga Mama mereka. Sedangkan Vincent berjalan di belakang mengikuti. Memastikan ketiganya aman.
Ketika sampai di mobil Vincent tidak membiarkan Renata membantunya menata papper bag mereka di bagasi. Ia juga tidak membiarkan Renata membantu Vando dan Vano duduk di carseat mereka. Semuanya sudah siap di tempatnya dan mobil siap melaju pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bundle of Stories
Romanceone shoot, two shoot, or more about love, mature, marriage, pregnancy, happy, and sad story.