Vanya mengelus kepala Vero yang berada di pelukannya. Anak itu menangis tersedu sejak pulang dari sekolah. Ia juga tak mengerti kenapa anaknya sampai menangis sesenggukan. "Sayang, sudah nangisnya." tak berhenti dia mengucapkan penenang atau meminta putranya berhenti menangis.
Vero menggeleng kuat kepalanya. Biarkan dia begini sebentar untuk menetralisir rasa takut. Vero tak bercanda ketika dia mengatakan jika dia takut. Vero bukan takut untuk ikut menyimpang, tetapi dia takut akan lingkungan nya.
Bagaimana jika dia di sukai oleh orang-orang segender dengannya. Bagaimana jika ada seseorang nekat dan melakukan hal yang tak akan pernah dia duga. "No! aku takut ma. Aku ga mau sekolah."
Vanya menghela nafas saat putranya uring-uringan dan berkata takut dan tak ingin sekolah. Di dalam benaknya dia bertanya ada apa gerangan. Apa yang telah terjadi di sekolah hingga putranya yang jarang menangis kini menangis tersedu, apakah putranya mengalami perundungan.
"Kamu kenapa nak? Ayo bicara sama mama. Kamu takut kenapa?" Vanya bertanya lembut. Di meja nakas terdapat ponsel yang terhubung dengan Mannaf. Suaminya berada di kantor, Vanya sengaja menghubungi sang suami sejak putranya menangis. Jadi Mannaf tau Vero tengah menangis.
Vero menggeleng kembali. Ga elit rasanya kalau dia mengatakan yang sebenarnya. Dia takut pada manusia yang sama makan nasi. Apalagi yang ia takutkan adalah orang-orang menyimpang. Parahnya, dia takut oleh sesuatu yang belum pasti terjadi.
Vanya tak ingin memaksa jika putranya tak ingin menjawab. Suaminya pasti akan mencari tau tentang apa yang telah terjadi pada putranya. "Tak apa kalau kamu tak mau berbicara, tapi berhenti menangis sayang. Nanti mata kamu bengkak."
Vanya melepaskan tangan Vero yang melingkar di perutnya. Posisinya adalah Vanya yang duduk di kasur, dan Vero memeluk perut Vanya. Wanita itu membantu Vero duduk. Ia bisa melihat wajah sembab putranya. Vanya menyugar rambut lepek Vero kebelakang. Ia menatap Vero yang juga menatap dirinya.
Tangan lembutnya menghapus air mata di pipi Vero. Kemudian memegang kedua tangan putranya menatap lembut seolah memberi pengertian. "Sayang jika kamu tidak ingin menberitahu mama kenapa kamu sampai menangis seperti ini, setidaknya beritahu mama kamu ingin apa, hm?"
"Mama khawatir melihatmu seperti ini."
Vero terharu sekaligus merasa bersalah. Dia malu untuk mengatakannya. Di sisi lain ia kasihan menatap maka Reygan yang terlihat khawatir pada anaknya. Mau bagaimana lagi. Dirinya dilanda takut.
Jangan mengejek nya, jika kalian cukup berani, coba saja berada di lingkaran ketakutan terbesar kalian.
"Vero ingin pindah sekolah ma," ucap Vero di sertai isakan. Dia menghapus air matanya kasar dan menatap Vanya. Ia sudah membulatkan tekad menolak alur.
"Kenapa ingin pindah sayang?" tanya Vanya. Vero menggeleng kan kepala dan menunduk. Melihat air mata yang kembali membasahi seprai kasur pun membuat Vanya menghela nafas.
Dia membawa putranya ke pelukan hangat. Mengelus punggung sang putra dan berkata. "Baiklah, kamu akan pindah. Sekalian kita pindah Negara. Kita akan menetap di kediaman kakek nenek hm?" pungkasnya.
Vanya tak tau apa yang menjadi ketakutan sang putra. Tetapi, jika dengan pindah sekolah putranya akan baik-baik saja. Maka dia akan melakukan yang terbaik. Suaminya pasti akan setuju, apalagi ini mengenai putra kesayangan nya.
*
Setelah drama panjang, akhirnya Vero jadi pindah sekolah. Semuanya telah di urus eh papanya. Vero tinggal menunggu surat pindah lalu setelahnya pergi dari sini. Dia hanya ingin pindah sekolah, tetapi mamanya berinisiatif untuk pindah Negara.
Orang kaya memang beda.
Vero tak keberatan, meski dia tak tau tentang seluk belum keluarga Erlangga. Yang penting dia jauh dari Negara ini, meninggalkan alur yang terlalu berat menurutnya.
Vero berharap di Negara yang akan dia tinggali, dia jauh lebih aman. Meskipun masih terhubung dengan cerita.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menolak alur ✔
Teen Fiction"Manusia punya cinta, tetapi dunia punya Norma." "Meski gw jadi Reygan, gw ga akan ngikutin sesuatu yang paling gw hindari." No bl! Don't copy