9. Gudeg Magelang

138 12 1
                                    

"Rio!" Seru Arghi tidak percaya pada matanya sendiri yang melihat Rio terduduk di sebelah makam Alvin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Rio!" Seru Arghi tidak percaya pada matanya sendiri yang melihat Rio terduduk di sebelah makam Alvin. Rio mengangkat kepalanya yang tertunduk, matanya melotot tidak menyangka Arghi ada di tempat ini.

Langkah Arghi bergegas mendekat pada Rio yang masih terduduk di tempatnya, tak bergeser sedikitpun. Semakin mendekat, Arghi semakin melihat jelas wajah Rio yang begitu berantakan. Rambutnya acak-acakan dan lepek, matanya merah dengan kantung mata menghitam, belum lagi pipinya yang terdapat sisa air mata layaknya anak kecil. Jaket denim yang dikenakan Rio juga kotor, sepertinya Rio berguling-gulung di makam ini selama dua hari.

"Ayo pulang!" ajak Arghi segera. Dia menjulurkan tangannya, mengajak Rio pulang ke rumahnya atau kalau Rio mau, Arghi bisa mengantarnya ke kost. Arghi tidak peduli kemana Rio ingin pergi, asal tidak di tempat ini.

"Nanti," jawab Rio dan menurunkan pandangannya pada nisan Alvin. Arghi mengembuskan napasnya tak sabaran. Dia tahu Rio akan bebal dan bertahan di tempat ini selama mungkin. Sama seperti saat mereka mengantar Alvin beristirahat di pusara ini.

"Sekarang, Yo! Kamu udah berapa lama disini, huh?" Arghi menarik tangan Rio, memaksa remaja yang lebih besar darinya ini untuk berdiri. Dia bahkan mengambil ransel Rio yang tergeletak. Sepertinya Rio ada niatan pergi ke kampus, tapi entah pikiran apa yang membuat Rio mendadak berubah arah dan memilih ke pemakaman Alvin.

"Aku disini, nemenin A–...."

"Kita pulang sekarang, Rio Darmawangsa!" pungkas Arghi. Dia lelah setelah dua hari berlatih dan perjalanan satu malam di kereta. Sekarang menghadapi Rio yang bebal. Tidak akan ada ucapan lembut untuk menghadapi Rio sekarang.

"Alvin udah mati! Dia udah nggak butuh ditemani kamu! Nggak butuh kamu tangisi! Harus berapa kali lagi aku bilang gini ke kamu, Yo! Kamu rindu Alvin? Kamu pikir aku dan yang lain nggak rindu Alvin? Sekarang pulang! Kita bicara di rumah! Atau kalau kamu tetap bebal, aku seret kamu ke rumah sakit jiwa!"

Arghi berteriak marah sampai menghempas tangan Rio yang digenggamnya. Membuat Rio yang sudah akan menolak ajakan Arghi itu berpikir ulang dan akhirnya menurut untuk pulang. Bukan dia takut diseret Arghi ke rumah sakit jiwa, dia hanya merasa ucapan Arghi ada benarnya. Alvin sudah tidak butuh ia tangisi. Remaja itu mungkin sudah hancur bersama peti matinya di dalam tanah.

Rio berjalan di belakang Arghi yang menenteng tas ranselnya. Arghi tampak begitu marah dengannya, sampai tak mengatakan sepatah katapun sejak dari makam hingga di dekat jalan raya. Menunggu kendaraan umum atau apapun itu yang bisa membawa mereka pulang ke rumah. Rio juga diam, memandang Arghi yang sibuk memainkan ponselnya, terlihat tengah berkirim pesan dengan seseorang.

"Maaf, Ar..." ujar Rio akhirnya setelah lama terdiam. Arghi menoleh memandang Rio, tangannya segera memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya.

"Kamu mau pulang ke rumah atau ke kost?" tanya Arghi tak membalas ucapan Rio. Baginya tidak semudah itu dia memaafkan kelakuan Rio yang membuatnya panik dan merepotkan banyak orang, termasuk Laskar. Dia terlalu banyak meminta bantuan temannya itu, hingga rasanya sungguh tak enak hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EpiphanyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang