"Rio!"Seruan dari ambang pintu membuat Rio yang tidur telungkup di kasurnya menoleh, melihat dua orang temannya ada di sana. Rio mengulas senyuman tipisnya dan beringsut duduk membiarkan dua orang temannya itu masuk ke dalam kamarnya dan mulai memberondonginya dengan banyak pertanyaan. Padahal mereka berdua selalu bertanya banyak hal melalui chat atau panggilan telepon.
"Cie anak kost... Gimana ada ngerasa homesick nggak, Yo?" tanya Arghi setelah Rio mengeluh merasa bosan dengan pertanyaan mereka berdua. Jofan yang duduk di karpet bulunya ikut menyimak.
"Gimana mau homesick, tiap jam ditelepon mulu. Kurang kerjaan dasar," omel Rio merasa jengkel setengah mati kepada Arghi. Bisa tidak sih sehari saja berhenti mengirim spam chat kepadanya.
"Kamu dapat banyak teman? Sudah jelas sih kamu akan punya banyak teman." Kali ini Jofan yang bersuara. Dia khawatir Rio tidak memiliki teman di kampus barunya, sama seperti dia saat dulu pindah ke Indonesia.
"Dia punya teman, bahkan kakak tingkat. Benar kan, Yo?" Arghi lebih dulu menjawab pertanyaan itu. Diantara keduanya, memang Arghilah yang lebih sering menghubungi Rio. Berbagi cerita dengan sahabatnya itu hingga membahas hal yang tidak perlu.
"Iya, Laskar namanya. Kamu kenal, Ar?"
Rio langsung bertanya pada Arghi. Sejak siang tadi dia sungguh penasaran, apakah Arghi mengenal Laskar atau tidak. Karena Laskar sedikitpun tidak mau menjawab pertanyaannya tentang siapa teman SMP-nya. Laskar malah menjawabnya dengan nama lain yang tidak berawalan "Ar". Itu cukup membuat Rio tahu kalau Laskar tengah berbohong. Apa susahnya menjawab pertanyaannya itu.
"Eh Laskar? Aku nggak pernah ingat punya teman dengan nama tersebut. Lagian kenapa tanya kayak gitu ke aku. Jelas-jelas aku pindahan dari Jakarta, bukan dari Magelang," jawab Arghi panjang lebar. Rio manggut-manggut saja mendengar jawaban itu. Mungkin memang bukan Arghi.
"Aku ke kamar mandi dulu," pamit Rio segera beranjak ke kamar mandi. Arghi dan Jofan saling pandang. Selalu seperti itu.
Di dalam kamar mandi, Rio sudah berkali-kali memuntahkan isi lambungnya. Hingga tersisa cairan saja yang susah keluar dan rasanya begitu pahit. Kepalanya berdenyut sakit dan membuat tubuhnya lemas. Dia tidak mau meminta tolong pada orang lain. Mencoba kuat dan mengendalikan diri agar bisa segera bangkit. Setelah setengah jam berdiam diri di kamar mandi, Rio keluar kamar.
Tidak ada siapapun di kamarnya. Rio berjalan keluar kamar setelah meneguk air minumnya. Membawa gelas kosong tersebut hendak mengisinya. Dia melihat Arghi dan Jofan duduk di ruang makan, sepertinya baru selesai makan.
"Aku kira udah pulang," ujar Rio. Jofan dan Arghi memandang Rio tak enak hati. Mereka tahu apa yang telah dilalui temannya itu di kamar mandi. Mereka sadar apa yang membuat Rio demikian. Tapi, entah mengapa Rio selalu menutupi itu semua. Bertingkah seperti biasanya dan memperlakukan kedua orang itu dengan biasa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epiphany
Novela JuvenilIni adalah kali pertamaku merasakan kehilangan. Dulu, kupikir seiring berjalannya waktu semua akan membaik. Rasa sakit itu akan lenyap terobati oleh waktu. Tapi, semakin hari justru semakin menyesakkan. Entah ilusi atau nyata aku semakin sulit berta...