Ini adalah kali pertamaku merasakan kehilangan. Dulu, kupikir seiring berjalannya waktu semua akan membaik. Rasa sakit itu akan lenyap terobati oleh waktu. Tapi, semakin hari justru semakin menyesakkan. Entah ilusi atau nyata aku semakin sulit berta...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi-pagi sekali, Rio sudah bangun dari tidurnya dan bersiap jogging berkeliling komplek. Sudah cukup lama dia tidak berolahraga, termasuk basket. Dia meninggalkan olahraga kesukaannya itu secara mendadak. Terkadang teman-temannya akan mengajaknya berkumpul di lapangan basket tengah kota untuk sekedar bermain. Tapi, Rio menolaknya. Dia bahkan tidak pernah bertemu Anton setelah pemakaman Alvin selesai. Padahal biasanya dia akan mengajak Anton keluar untuk berjalan-jalan sekedar melepas rasa suntuk, akibat kuliah.
Rio selesai dengan joggingnya saat bundanya telah menyajikan sarapan. Terlihat terkejut melihat Rio rupanya sudah bangun dan bahkan sudah berkeringat. Rio duduk di kursi makan setelah mengambil segelas air. Bunda ikut duduk memandang putranya yang kini tumbuh dewasa. Bunda menyadari perubahan Rio. Putra bungsunya menjadi tertutup dan jarang berbicara juga jarang tertawa. Seolah semua itu ikut terkubur di pemakaman bersama Alvin.
"Udah bangun, Yo?"
Ayah datang dengan sapaan. Membuat baik bunda maupun Rio segera menoleh. Ayah tersenyum dan duduk di sebelah Rio, mengelus pucuk kepala putranya sebentar. Rio mengangguk sebagai jawaban, dia bahkan sudah berkeringat pagi ini.
"Semalem Kak Devina bilang kamu sakit lagi. Ayah khawatir sama kamu. Gimana kalau kita ke rum–...."
"Aku mau mandi dulu," pamit Rio memotong ucapan ayahnya. Ayah mengangguk dan saling pandang dengan istrinya. Bunda Ica mendengus, melotot pada suaminya yang tanpa basa-basi langsung mengajak Rio ke rumah sakit. Jelas Rio saat ini langsung pergi, menghindar. Harusnya tidak segamblang itu mereka mengajak putranya yang keras kepala pergi ke rumah sakit.
"Aku khawatir... Gimana kalau ternyata sakitnya itu lebih parah dari yang kita tahu," jelas Ayah Ari mencoba membela diri. Ica tahu suaminya khawatir, dia juga tak kalah khawatir. Tapi, mendengar penjelasan Arghi dan Jofan semalam sepertinya saat ini Rio sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya.
Setidaknya Rio mau berbicara panjang lebar dengan Arghi. Rio juga mau berteman di kampus barunya. Mereka hanya bisa menunggu Rio ke depannya. Apakah laki-laki itu bisa berdamai dengan sendirinya atau akhirnya menyerah dan perlu bantuan dari orang lain.
Sarapan pagi itu berlangsung cepat untuk Rio. Dia segera berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk kembali ke kamarnya. Tidak mengizinkan satupun dari mereka memulai obrolan dengannya yang akhirnya berakhir dengan mengajaknya ke rumah sakit atau bercerita sesuatu. Dia ingin, tapi tidak sekarang. Dia masih berusaha sendiri. Dia masih berpikir dia akan bisa mengatasinya sendiri.
Di kamarnya, Rio hanya diam memandang televisinya yang menyala. Tidak menontonnya, hanya menatap kosong ke arah televisi tersebut. Kepalanya memutar ingatan saat dirinya berkumpul dengan ketiga temannya, bermain ps bergantian dan saling mengejek atas kekalahan.
"Oy, Yo! Ngelamun aja kerjaannya!"
Arghi datang secara mendadak membuat Rio tersentak kaget. Rio menoleh cepat pada Arghi tapi tangannya segera membekap mulut, merasa mual seketika. Lantas berlari ke kamar mandi membuat Arghi memandangnya terkejut. Dia kaget mendapat respon demikian dari Rio. Kali ini, dia ikut Rio ke kamar mandi. Kebetulan, Rio tak menutup pintu kamar mandi karena terburu-buru. Jadi, Arghi masuk dan membantu sahabatnya memuntahkan sarapannya yang belum sempat tercerna tersebut.